Selasa, 18 Agustus 2015

Makna Shalat Kita

"Saya sungguh tercengang. Tidak pernah saya melihat sesuatu yang serius lagi pasti, tetapi dianggap remeh seperti tidak akan terjadi, yakni maut. Saya juga tidak melihat sesuatu yang akan ditinggalkan lagi kecil, tetapi diperebutkan seperti yang besar dan kekal, yakni dunia." Kalimat-kalimat ini adalah ucapan Khalifah Rasul yang Keempat Sayyidina 'Ali ibn Abi Thalib r.a.

Ucapan yang nadanya sama dengan kandungan yang berbeda, dapat juga dikaitkan dengan shalat. "Saya sungguh bingung dan tercengang menyangkut uraian shalat. Apakah ia merupakan ulangan yang tidak dibutuhkan lagi, mengingat telah lamanya kewajiban ini dikenal umat; ataukah ia merupakan uraian yang sangat dibutuhkan mengingat banyaknya umat yang enggan shalat atau ingin tapi tak tahu, atau mengerjakan tapi keliru, atau mendirikan dan melaksanakan tapi tak menghayati."

Pada hari Jumat, masjid-masjid dan kantor-kantor di mana-mana penuh, tetapi keadaan jalan pada saat jam-jam shalat tetap macet. Bukankah sebagian besar yang memadatinya adalah kaum Muslim yang wajib shalat, tetapi enggan melakukannya? Di kereta api jarang sekali terlihat orang yang melakukan shalat, tetapi begitu tiba di stasiun, orang berduyun-duyun untuk melakukan shalat. Apakah mereka tidak tahu bahwa shalat di kereta api diperbolehkan dan menjamaknya dalam perjalanan juga sah? Sementara itu, yang melakukan shalat lain pula keadaannya. Sebagian kita memang berdiri untuk shalat tetapi tidak melaksanakan shalat.

Kalau Anda memperhatikan perintah shalat dalam Al-Quran, Anda akan menemukan bahwa perintah itu selalu dimulai dengan kata aqimu (kecuali dua ayat, atau bahkan cuma satu ayat). Kata aqimu biasa diterjemahkan dengan "mendirikan", meskipun sebenarnya terjemahan tersebut tidak tepat. Karena, seperti kata mufasir Al-Qurthubiy dalam tafsirnya, aqimu bukan terambil dari kata qama yang berarti "berdiri" tetapi kata itu berarti "bersinambung dan sempurna". Sehingga perintah tersebut berarti "melaksanakannya dengan baik, khusyuk dan bersinambung sesuai dengan sarat, rukun dan sunnahnya."

Kalau demikian, banyak yang shalat tetapi tidak melaksanakannya. Yang shalat dengan sempurna rukun, syarat dan sunnahnya pun tidak sedikit yang tidak menghayati arti dan tujuan shalatnya. Celakalah orang yang shalat, tetapi lalai akan (makna) shalat mereka, yakni mereka yang riya' dan menghalangi pemberian bantuan (QS 107: 4-7).

Mengapa demikian? Shalat berintikan doa, bahkan itulah arti harfiahnya. Doa adalah keinginan yang dimohonkan kepada Allah SWT. Jika Anda berdoa atau bermohon, hal itu harus dibuktikan dalam ucapan dan sikap. Kalau demikian, wajarkah manusia bermuka dua (riya') ketika menghadap Allah? Yang demikian ini tidak menghayati shalatnya lagi lalai dari tujuannya.

Yang melaksanakan shalat adalah mereka yang butuh kepada Allah serta mendmambakan bantuan-Nya. Kalau demikian, wajarkah yang butuh menolak membantu sesamanya yang butuh, apalagi jika memiliki kemampuan? Tidakkah ia mengukur dirinya dan kebutuhannya kepada Allah? Tidakkah ia mengetahui bahwa Allah akan membantunya selama ia membantu saudaranya, seperti sabda Nabi saw.? Kalau demikian, yang enggan memberi bantuan kepada sesamanya berarti ia lalai akan makna shalat.

Setelah ini, masih perlukah kita tercengang, atau kita akui saja bahwa kita butuh uraian tentang shalat, sebagaimana kebutuhan masyarakat kita pada perwujudan makna shalat itu?[]

M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 158-160

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...