Bagi agamawan, berdoa untuk Kepala Negara bukanlah sesuatu yang janggal. Bahkan doa seperti itu sedemikian pentingnya sehingga ulama-ulama terdahulu seperti Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241 H) berkata: "Seandainya kita mempunyai doa yang (kita ketahui) makbul, niscaya itu kita gunakan mendoakan Kepala Negara." Demikian kutip Ibnu Taimiyah (661-728 H) dalam bukunya Al-Siyasah Al-Syar'iyah yang bila diterjemahkan secara harfiah adalah Politik Keagamaan (halaman 173).
Pencantuman pendapat di atas, dalam buku yang judulnya demikian pastilah bukan berarti bahwa doa dimaksud mengandung tujuan politis. Integritas ilmiah dan pribadi kedua tokoh tersebut adalah jaminannya. (Keduanya pernah dipenjara penguasa karena ketegasannya). Rasulullah saw. memang melarang memberikan jabatan kepada siapa yang dinilai sangat berambisi. "Dua ekor serigala yang berada di tengah kelompok domba, tidak lebih berbahaya dari dua orang yang berambisi memperoleh harta atau kedudukan," demikian sabda Rasul saw. Namun, Al-Quran memuji orang-orang yang - meminta kepada-Nya untuk dirinya sendiri sebagai hamba-hamba yang baik Allah dan Rahman: Jadikanlah kami imam (pemimpin) bagi orang-orang yang bertakwa (QS 225: 74).
Utsman bin Affan, sahabat Nabi saw. dan Khalifah Ketiga (644-655 M), ketika didesak agar meletakkan jabatannya, menolak sambil berkata: "Aku tidak akan meletakkan pakaian yang dikenakan Allah atas diriku, kecuali jika Dia sendiri yang menanggalkannya dariku." Pakaian yang dimaksud adalah kedudukan sebagai Kepala Negara. Kekuasaan dianugerahkan oleh Allah sehingga wajar jika berkata demikian dan wajar pula jika berdoa berdoa kepada-Nya. Itu sebabnya Allah mengajarkan sebuah doa sekaligus pengakuan: Wahai Allah pemilik kekuasaan, Engkau memberi kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan mencabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki (QS 3: 26).
Rasulullah saw. menjelaskan cara Allah menetapkan seorang penguasa, yaitu Kama takununa yuwalla 'alaikum (sebagaimana keadaan kalian, demikian pula ditetapkan pemimpin atas kalian). Ini antara lain berarti bahwa seorang penguasa adalah cerminan dari keadaan masyarakatnya. Penguasa yang baik adalah penguasa yang dapat menangkap aspirasi masyarakatnya, sedangkan masyarakat yang baik adalah masyarakat yang berusaha mewujudkannya. Doa, begitu juga Pemilu, merupakan usaha mewujudkan hal itu.
Ada catatan kecil namun penting menyangkut doa, yaitu keikhlasan dan ketulusan. Ketika Mu'awiyah menggantikan Khalifah Keempat (w. 620 H), ia mempopulerkan doa Nabi saw. setiap habis shalat, dan yang sampai kini pun masih sering dibaca: "Ya Allah tidak ada yang mampu memberi apa yang Engkau halangi, tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan." Yang dilakukan Mu'awiyah, ketika itu, dinilai banyak pakar sebagai bertujuan politis, begitu tulis Prof. Abdul Halim Mahmud mantan Imam Terbesar Al-Azhar, Mesir, dalam Al-Tafkir Al-Falsafi fi Al-Islam (halaman 203), karena dengan doa itu Mu'awiyah melegitimasi kesewenangan pemerintahannya.
Betatapun, akhirnya, Innama al-a'mal bi al-niyah (setiap usaha dinilai Allah berdasarkan niat pelakunya), dan niat hanya Allah yang tahu. Kita diperintahkan bersangka baik. Karenanya, tidak wajar, menurut agama, menuduh yang tidak-tidak - apalagi mereka yang berdoa.[]
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 152-154
Tidak ada komentar:
Posting Komentar