Rasulullah Saw kembali dari perjalanan Isra’ Miraj dengan petunjuk Ilahi yang tegas tentang kewajiban shalat. Kewajiban ini diketahui secara pasti oleh setiap muslim dari generasi ke generasi.
Berbicara mengenai shalat menimbulkan pertanyaan di dalam benak kita: apakah topik mengenai shalat tersebut sudah usang atau tak perlu dibicarakan lagi mengingat waktu penetapannya yang telah begitu lama. Ataukah kita masih perlu melihat pelaksanaannya di kalangan umat Islam, yang tak jarang mengabaikannya di samping itu juga masih banyak yang melaksanakannya secara tidak sempurna?
Mengahadapkan jiwa dan raga kepada Allah merupakan kewajiban keagamaan. Sebab agama sebagaimana diakui dan diyakini oleh setiap penganutnya, menetapkan bahwa Allah menguasai alam raya, mengusai hidup dan kehidupan manusia. Dia Mahamutlak, Mahakuasa, dan Mahasempurna dalam segala sifat keutamaan. Keyakinan akan ketuhanan seperti itu, menurut pembuktian konkret, nyata secara amaliah, bukan hanya dalam fikiran atau hati. Shalat adalah salah satu yang di tetapkan Allah sebagai pengejawantahan dari keyakinan tersebut.
Manusia., lebih-lebih para ilmuan, membutuhkan kepastian tentang tata kerja alam ini demi pengembangan ilmu dan penerapannya. Kepastian ini tidak dapat diperoleh kecuali dengan keyakinan adanya pengendali dan penguasa tunggal yang Mahaesa, yaitu Allah.
Di sini shalat telah menajdi kebutuhan bukannya beban atau kewajiban. Shalat menggambarkan pemahaman seseorang menyangkut tata kerja alam raya ini yang memberikan ketenangan dan kemantapan kepada manusia, khususnya para ilmuwan, dan karena itu "shalat kepada Yang Mahaesa merupakan pertanda kemajuan pemikiran manusia dalam memahami tata kerja alam raya ini".
Manusia adalah mahluk yang memiliki naluri cemas dan mengharap. Ia selalu membutuhkan sandaran, terutama pada saat-saat cemas ketika berharap. Kenyataan sehari-hari membuktikan bahwa bersandar pada mahluk, betapapun tinggi kekuatan dan kekuasaannya, seringkali tidak membuahkan hasil. Yang mampu hanyalah Tuhan semata. Yang kamu seru selain Allah tidak memiliki apa-apa walau setipis kulit ari sekalipun. Jika kamu meminta kepada mereka, mereka tidak mendengar permintaanmu dan walaupun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan (QS 35: 13-14). Hai manusia kamulah orang-orang yang miskin (butuh) kepada Allah dan Allah Maha kaya lagi Maha Terpuji (QS 35: 15).
Seorang Muslim, dalam shalatnya, menghimpun segala bentuk dan cara pengakuan, penghormatan dan pengagungan yang dikenal oleh umat manusia. Di dalam shalat, ada “isyarat penghormatan dengan tangan, berdiri tegak, menunduk, rukuk, sujud, puji-pujian, doa dan harapan”.
Hanya lima kali dalam satu hari Allah mewajibkan kita menghadap kepada-Nya. Malu rasanya, jika kita yang telah mendapatkan anugerah-Nya yang tidak terbilang mengabaikan kewajiban tersebut. Apalagi shalat merupakan kebutuhan kita. Malu pula rasanya, jika kita hanya pada saat-saat kepepet atau terdesak, saat cemas dan mengharap sesuatu, kita buru-buru berkunjung ke kehadirat-Nya.
Menjengkelkan, tentu, apabila yang datang menghadap mengabaikan tata krama dan peraturan protokoler. Jangan mempersalahkan Tuhan apabila Dia tidak menghiraukan hamba-Nya yang datang tanpa menampakkan kebutuhan kepada-Nya, atau tidak memuja dan memuji-Nya dengan sepenuh hati.
Tentu saja Mahaadil Allah, ketika Dia tidak ingin mengenal (dengan rahmat dan kasih sayang-Nya) orang-orang yang tidak pernah mengenal-Nya, yaitu orang-orang yang enggan memenuhi panggilan-Nya.[]
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 161-163.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar