Apa yang hilang dari kita? Kita, umat Islam di Indonesia saat ini. Bagi Quraish Shihab adalah “akhlak”. Yang Hilang dari Kita: Akhlak, judul karya terbaru Quraish Shihab.
Quraish Shihab melalui karya-karyanya kerap menjadi “oase” di tengah kegersangan keberislaman kita di Indonesia. 2007, ketika Sunni dan Syiah di Indonesia sedang melewati masa-masa yang sulit dan memprihatinkan: sentimen, bahkan konflik, Quraish Shihab hadir dengan karyanya yang menyejukkan: Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?
Kini, Quraish Shihab mengingatkan kita bahwa ada yang sedang (terancam) hilang dari kita, yakni akhlak. Beliau sendiri pernah menjadi korbannya ketika dituduh menganggap Nabi Muhammad tak dijamin masuk surga. Beliau dihujat, bahkan dicaci. Padahal, yang beliau sampaikan adalah hadis Nabi, pun (tentu) maknanya bukan Nabi tak dijamin masuk surga, melainkan dijamin bukan karena amalnya, tapi rahmat Allah.
Maka, sebagaimana hadis Nabi pada Sayyidah Aisyah, meskipun Nabi dijamin masuk surga, Nabi tetap beramal dengan kuantitas dan kualitas terbaik, bukan lantaran surga, melainkan bentuk syukur atas-Nya akan karunia nikmat-Nya, termasuk nikmat surga kelak.
Dan, yang terbaru, KH Mustofa Bisri (Gus Mus) korbannya. Di Twitter, cuitannya disamber dengan cuitan tak berakhlak.
Akhlak adalah simpul ajaran Islam. Seperti ditegaskan Nabi dalam sabdanya: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” Begitu pula dalam al-Qur’an: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar mempunyai akhlak yang agung.” (QS. al-Qalam: 4)
Bahkan, dalam Islam sebagaimana tertuang di Qur’an, fikih selalu diukur dengan parameter akhlak. Salat untuk menjauhkan kita dari kekejian dan kemunkaran (al-‘Ankabut: 45) serta sebalinya: neraka Wayl bagi mereka yang salat untuk riya’ dan tak mau memberi pertolongan (al-Ma’un: 4-7), zakat menjadi sia-sia jika diikuti kata-kata yang melukai (al-Baqarah: 264), dan seterusnya.
Juga dalam hadis ditegaskan bahwa akhlak yang buruk justru bisa merusak amal, seperti cuka merusak madu atau di hadis lain dimisalkan seperti api melalap kayu bakar (HR. Ibn Majah). Puncaknya, sebagaimana Nabi sabdakan bahwa “agama adalah akhlak yang baik, misalnya: jangan marah.” Atau di hadis lain, dikatakan bahwa kuat dan lemahnya iman bergantung pada akhlak.
Bayangkan jika akhlak hilang dari umat Islam. Dan, itulah yang kini mengancam kita.
Quraish Shihab, Gus Mus, dan ulama-ulama kita adalah guru. Meskipun mungkin kita tak pernah belajar langsung pada mereka. Oleh karena itu, tentu sudah menjadi kewajiban bagi setiap Muslim untuk menjaga akhlak pada mereka. Bahkan, kata Sayyidina Ali, yang dijuluki sebagai pintu kota ilmunya oleh Nabi sendiri: “Aku adalah budak bagi yang mengajariku satu huruf.”
Artinya, kita diwajiban mendahulukan akhlak di atas ilmu. Sebab, kata Quraish Shihab, akhlak tanpa ilmu masih bisa mendorong untuk meraih ilmu, sedangkan ilmu tanpa akhlak mendorong pada keculasan dan keangkuhan. Apalagi, akhlak adalah salah satu amal dari ilmu. Dan firman-Nya dalam Qur’an, mereka yang berilmu dan tak mengamalkannya laksana keledai yang menggotong kitab.
Ditegaskan pula sejak dini, dalam wahyu pertama, bahwa kita membaca (mencari ilmu) harus demi Allah, yakni salah satunya untuk meneguhkan nilai-nilai akhlak, rendah hati, dan tak angkuh sebagaimana diperintahkan Surat Al-‘A’raf: 146. Sehingga, kita dapati bagaimana Imam Syafi’i bahkan dalam membuka halaman kitab yang hendak dibacanya, beliau membukanya dengan perlahan agar tidak mengalihkan pandangan gurunya sehingga menghilangkan konsentrasi sang guru.
Tentu, bukan berarti guru dan ulama, termasuk Quraish Shihab dan Gus Mus, haram dikritik. Sebab, sebagaimana kepada orangtua, kita tak diwajibkan patuh jika mereka salah. Namun, tetap saja kita diwajibkan berbuat baik. Karenanya, yang patut digarisbawahi adalah cara kita menyampaikan kritik padanya, yakni harus dengan akhlak.
Sebagaimana ditulis Quraish Shihab dalam karya terbarunya itu, kepada orang yang tak berakhlak, musuh, atau bahkan dalam perang sekalipun, seorang Muslim harus berakhlak. Apalagi, merujuk pada hadis, seorang ulama yang salah sekalipun tetap mendapat satu pahala atas ijtihad-nya.
Berbeda pendapat adalah sesuatu yang niscaya sebagai konsekuensi keterciptaan kita sebagai makhluk berakal. Perbedaan pendapat bahkan terjadi di antara para nabi, sebagaimana dikisahkan dalam Surat al-Anbiya: 78-79, yakni bagaimana Nabi Daud dan Nabi Sulaiman berbeda pendapat, hingga kemudian Allah mewahyukan bahwa kebenaran berada di pihak Nabi Sulaiman.
Namun, sebagaimana dikemukakan dalam Tafsir Ibnu Katsir, dalam ayat itu Allah memuji Sulaiman yang menjaga akhlak dengan tidak mencela Dawud. Sebuah sikap yang kemudian diteladani oleh seluruh ulama, sebagaimana terlihat pada para imam mazhab yang, meskipun berbeda-beda pandangan dan pendapat mengenai hukum Islam, mereka menghormati dan terus menghiasi perbedaan di antara mereka dengan sikap saling memuji.
Meski salah satunya telah wafat, sebagaimana Imam Syafi’i yang dalam mazhabnya menilai qunut pada salat subuh adalah sunnah muakkadah, namun ketika beliau salat subuh dekat makam Imam Abu Hanifah, beliau tidak qunut karena menghormati almarhum Imam Abu Hanifah.
Akhirnya, mungkin sepatutnya kita belajar pada relasi guru dan murid dalam tasawuf. Di sana, relasi guru dan murid bukanlah relasi keilmuan semata, namun juga spiritual. Karenanya, betapapun keilmuan murid melebihi gurunya, saat sang guru masih hidup maupun telah wafat, sang murid tetap meletakkan gurunya di atas kepalanya, laksana relasi seorang budak atas tuannya. Sebab, bagaimanapun juga, guru yang telah membuka tabir kebodohan murid.
Sebagaimana kata Sayyidina Ali, jangan gunakan ke-fasih-anmu berbicara pada ibumu yang telah mengajarkanmu berbicara saat kecil.
Jika tidak, maka ilmunya akan kosong akan keberkahan. Tiada berguna bagi pemiliknya, atau bahkan mencelakakannya secara batin.
Dalam tasawuf, ilmu bukan hanya diajarkan dengan pengajaran, tapi juga pelatihan. Ia bukan hanya deretan huruf, tapi tuntunan sikap. Maka, bisa jadi seorang murid diajarkan tentang sabar dan ikhlas bukan dengan definisi-definisi, melainkan menyapu halaman rumah sang guru berhari-hari untuk menghadirkan langsung kesabaran dan keikhlasan pada hati sang murid.
Karena itu, selalu berprasangka baiklah pada guru atau ulama kita. Sebab, bisa jadi apa yang kita anggap salah dari mereka sejatinya bukan karena kebodohan mereka, melainkan kebodohan kita dalam memahaminya dan ketidaksabaran kita menunggu maksud yang mereka simpan di balik kata-kata. Karena ilmu bukan selalu tersurat, tapi juga tersirat.
Mereka tentu sadar akan posisinya sebagai panutan, sehingga akan selalu menyampaikan sesuatu dengan ilmu, akhlak, dan pertimbangan yang matang. Jika pun salah, Allah hitung usahanya, sehingga tetap satu pahala untuk mereka. Adapun kita, layakkah kita bersikap melebihi Allah, sehingga berani tak menghormati, meskipun mereka salah?
=========================
Sumber: Geotimes
=========================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar