Kamis, 20 Agustus 2015

Memahami Takdir Tuhan

Tidak jarang kita terlibat perdebatan yang tak berujung pangkal perihal kepercayaan akan takdir dan dampaknya bagi umat Islam. Sebagian umat Islam mengalami kesulitan dalam memahami masalah pelik ini sehingga bingung. Karena, jangankan mereka, para ilmuwan dan filosof pun tidak sedikit yang bingung.


Mengingkari qadha dan qadr sebagai rukun iman tidak berarti mengingkari kepercayaan kepada takdir dan qadha Ilahi

Memang dalam surah Al-Nisa ayat 136 hanya menyebutkan lima unsur keimanan, tanpa menyebut takdir. Tetapi, Nabi saw. ketika ditanya tentang iman, beliau menyebut takdir, di samping kelima lainnya. Namun harus diakui bahwa, ketika itu, beliau tidak menamainya rukun.

Semua kaum Muslim percaya sepenuhnya kepada takdir, hanya saja mereka berbeda dalam menafsirkan maknanya. Tulisan ini berusaha melihatnya dari sudut pandang Al-Quran. Taqdir berasal dari kata qadr, yakni "kadar", "ukuran", dan "batas". Matahari beredar di tempat peredarannya , itulah takdir Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui, begitu juga dengan bulan (QS 36: 38).

Dia Yang menciptakan segala sesuatu, lalu Dia menetapkan atasnya takdir (ketetapan) yang sesempurna-sempurnanya (QS 25: 2).

Dan tidak sesuatu pun kecuali ada di sisi Kami khazanah (sumber)-nya dan Kami tidak menurunkannya kecuali dengan kadar (ukuran) tertentu (QS 15 :21).

Banyak sekali ayat Al-Quran yang mengulang-ulang hakikat ini.

Walhasil, segala sesuatu dari yang terbesar hingga yang terkecil, ada takdir yang ditetapkan Tuhan atasnya (lihat QS 65: 35). Rumput hijau atau yang hangus terbakar pun berlaku atasnya takdir Tuhan (QS 87: 4-5). Bagaimana ia tumbuh subur, mengapa ia kering, berapa kadar kekeringannya, kesemuanya itu ukurannya telah ditetapkan oleh Allah. Itulah yang disebut takdir atau sunnatullah yang menurut para rasionalis disebut sebagai hukum-hukum (Tuhan Yang berlaku di) alam.

Manusia mempunyai takdir sesuai dengan ukuran yang diberikan Allah atasnya. Makhluk ini tidak dapat terbang seperti burung. Ini adalah takdir-Nya atau ukuran kemampuan yang ditetapkan Tuhan atasnya. Di samping itu, manusia berada dalam lingkungan takdir, sehingga apa yang dilakukannya tidak terlepas dari hukum-hukum dengan aneka kadar ukurannya itu.

Harus diingat bahwa hukum-hukum itu banyak, dan kita diberi kemampuan untuk memilih – tidak seperti matahari dan bulan, misalnya. Kita dapat memilih yang mana di antara takdir (ukuran–ukuran) yang ditetapkan Tuhan yang kita ambil. Umar bin Khaththab membatalkan rencana kunjungannya ke satu daerah karena mendengar adanya wabah di daerah tersebut. Beliu ditanya: "Apakah Anda menghindar dari takdir Tuhan?" Umar menjawab: "Saya menghindar dari takdir yang satu ke takdir yang lain."

Berjangkitnya penyakit akibat wabah merupakan takdir Tuhan. Bila menghindar sehingga terbebas dari wabah, ini juga takdir. Kalau begitu ada takdir baik dan takdir buruk. Tetapi ingat, Anda diberi takdir untuk memilih. Karenanya, jangan hanya saat petaka saja terjadi, kita berucap: "Itu takdir." Ucapkanlah juga pada saat kita meraih sukses.

Takdir, sebagaimana yang dipahami oleh Ahlussunnah boleh jadi tidak seperti di atas. Dan memang pelbagai pandangan tentang takdir sangat sulit dipahami, sehingga gampang menimbulkan kesalahpahaman. Namun demikian, banyak faktor yang lebih dominan dalam kemunduran umat pada saat sekarang ini. Kurang adil menimpakannya pada satu faktor yang juga belum sepenuhnya terbukti.[]

M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 97-99

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...