Ada banyak pelajaran penting dan menarik dari film dokumenter ini. Pertanyaannya: layakkah dan bisakah Revolusi Venezuela diterapkan di Indonesia?
Bagi para pengagum maupun pengecamnya di Indonesia, Presiden Venezuela Hugo Chavez cenderung disusutkan menjadi sekadar simbol anti-Amerika. Atau sekadar sebagai simbol "pemerintahan yang kuat karena dia bekas tentara". Dan dengan ini orang sering keliru memahami, bahwa untuk menjadi kuat, pemerintahan harus dipimpin secara militeristik alias diktatorial. Tak heran jika ada pula orang yang keliru melihat munculnya Chavez sebagai obat kerinduan terhadap militerisme Orde Baru.
Bagi mereka yang samar-samar mengagumi maupun yang mengutuk Chavez dan sosialisme Venezuela, film dokumenter ini, yang disertai teks Bahasa Indonesia, menyuguhkan sejumlah kejelasan. “No Volveran”, yang artinya “Maju Terus”, adalah kuliah politik sosialisme dalam versinya yang populer. Film dokumenter ini menyajikan pengalaman empiris Venezuela dalam mewujudkan apa yang Chavez sebut “Sosialisme Abad ke-21″ atau “Revolusi Bolivarian”, yang diilhami oleh gagasan Simon Bolivar, pahlawan kemerdekaan Amerika Latin.
Bolivarianisme menguat sebagai ideologi sejak Chavez terpilih menjadi presiden pada 1998. Menyusul kemenangannya dalam referendum 2004, Chavez makin konkret menerapkan kebijakan sosialis, baik dalam bidang sosial, ekonomi maupun kebijakan luar negeri. Pemerintah menekankan program kesejahteraan sosial dengan mendongkrak tajam anggaran pendidikan dan kesehatan bagi kaum miskin yang mencapai 60% dari sekitar 10 juta penduduk: membangun klinik kesehatan gratis, mensubsidi bahan pangan, dan menciptakan koperasi industri kecil.
Sebagian film ini memang berisi sejarah ringkas Venezuela di bawah Hugo Chavez. Sejarah difokuskan terutama pada kudeta 2002, ketika Chavez digulingkan kaum oligarki (militer sayap kanan dan pengusaha besar), namun naik kembali berkat dukungan rakyat yang luas, terutama rakyat miskin dan marjinal. Kembalinya Chavez menjadi tonggak kemenangan rakyat kebanyakan.
Tekanan utama film ini bukan pada Chavez, namun pada aktivisme rakyat Venezuela sendiri, tentang bagaimana paham sosialisme diterapkan dalam hidup sehari-hari, di kawasan kumuh perkotaan (barrio) atau dalam koperasi buruh di pabrik-pabrik.
Revolusi sosialisme Venezuela, yang kini menyebar ke beberapa negeri Amerika Latin, lebih besar dari sekadar Revolusi Chavez. Sosialisme Venezuela adalah sosialisme demokratis. Seperti ditunjukkan oleh film ini, sosialisme itu berbasis pada kesadaran dan partisipasi politik luas masyarakat, dengan sedikit intervensi dari negara.
Artinya, Venezuela bukanlah negeri komunis satu partai seperti China atau Soviet. Dan pada kenyataannya, berlawanan dengan mitos yang luas berkembang, sosialisme tidaklah identik dengan komunisme (Leninisme/Stalinisme/ Maoisme) yang cenderung atheistik dan diktatorial.
Alih-alih atheistik, Revolusi Sosialisme Venezuela sebenarnya bergandengan tangan dengan gagasan teologi pembebasan Katolik yang khas Amerika Latin. Dalam berbagai pidatonya, Chavez menyebut Yesus Kristus sebagai aktivis radikal yang berjuang untuk keadilan sosial dan sosialisme demokratis. Yesus, kata Chavez, adalah pahlawan dan pembebas yang mempromosikan penghargaan hak asasi manusia baik individu maupun kolektif sekaligus, serta memperjuangkan kemandirian dan martabat rakyat agar mereka bisa terlibat dalam proses politik.
Tinggi atau rendahnya partisipasi politik tak lepas dari peran media. Revolusi sosial yang damai di Venezuela ditandai pula oleh maraknya media alternatif dan media komunitas, sebagai penawar dari dampak buruk jurnalisme media-media swasta besar, yang obsesi berlebihannya pada rating dan pendapatan iklan sering menumpulkan partisipasi politik. Dalam kasus Venezuela, TV-TV swasta besar justru telah menunjukkan semangat tidak demokratis dan cenderung berpihak pada elit oligarkis.
CatiaTV adalah sebuah stasiun televisi komunitas yang giat menyebarkan virus “citizen" – tempat 75% program dibuat dari dan untuk masyarakat sendiri. Slogan TV itu berbunyi: “Don’t watch TV, make it”. Dengan ini masyarakat terbebas dari dikte dan daulat rating ketika harus memutuskan mana yang penting dan mana yang tidak bagi hidup kolektif mereka.
Ada banyak pelajaran penting dan menarik dari film dokumenter ini. Pertanyaannya: layakkah dan bisakah Revolusi Venezuela diterapkan di Indonesia?
Indonesia punya kerumitan sendiri, dengan jumlah penduduk 20 kali lipat dari Venezuela dan secara geografis maupun keragaman suku sangat berbeda. Indonesia juga punya sejarah politik yang berbeda, khususnya ketika berhadapan dengan isu sosialisme. Namun, bukannya Indonesia tak memiliki modal yang sama untuk tumbuhnya sebuah revolusi sosialis-demokratis seperti Venezuela.
Trauma terhadap sejumlah pemberontakan komunis yang berdarah (1927, 1948 dan 1965), serta propaganda efektif kalangan militer/birokrat pro-Barat, memang telah menumbuhkan paranoia dan fobia berlebihan terhadap paham Marxisme – inspirasi utama gerakan sosialisme yang sebenarnya berbeda secara mendasar dari komunisme.
Hadirnya “No Volveran” mudah-mudahan membuat sosialisme, dan khususnya Marxisme, bisa dibicarakan lebih rileks serta proporsional di sini. Tanpa ketakutan berlebihan, namun juga tanpa kegaguman kelewat batas.
Sosialisme bukan suatu yang asing di Indonesia, baik bagi kalangan pejuang nasionalis maupun Islam sebelum kemerdekaan. Gagasan ini mengilhami baik Sarekat Islam, gerakan sosial pertama, maupun pemikiran penting di kalangan “bapak pendiri bangsa” kita, termasuk Soekarno dan Hatta.
Hatta memuji kecanggihan Marxisme sebagai metode abstraksi sosial tanpa terjatuh menyembahnya sebagai dogma. Sebagai intelektual dengan pikiran terbuka, Hatta tak hanya membeberkan sejarah Marxisme tapi juga varian, kontradiksi serta keterbatasan-keterbatasannya, yang membuat dia tidak segan pula mengutip pemikir ekonomi “borjuis” sebagai bahan perbandingan.
Ada aspek lain dari pemikiran Hatta yang relevan dengan perkembangan baru di Venezuela. Sistem sosialisme-demokratis Venezuela berpusat pada pemberdayaan masyarakat, dalam bentuk community-center, dewan masyarakat serta serikat/koperasi buruh. Ini mengingatkan kita pada konsep asli Hatta tentang koperasi, yang sayangnya sudah rusak citranya akibat diperkosa puluhan tahun oleh Orde Baru.
Selama Orde Baru koperasi direduksi menjadi sekadar institusi ekonomi, bahkan menjadi alat penghisapan vertikal. Padahal, dalam konsep asli yang dirumuskan Hatta, koperasi adalah lembaga ekonomi, sosial dan politik sekaligus—yang, seperti di Venezuela sekarang, mengedepankan partisipasi masyarakat. Di samping sebagai satuan lembaga demokratis terkecil, Hatta juga melihat koperasi sebagai lembaga tempat masyarakat menolong dirinya sendiri (self-help) yang di situ pula tercakup watak kemandirian dan martabat.
Tidak berlebihan untuk berharap “No Volveran” bisa menjadi langkah awal mendiskusikan pemurnian gerakan koperasi di Indonesia. Atau setidaknya merangsang perdebatan yang lebih fair terhadap model-model ekonomi yang tepat bagi Indonesia yang sekarang ini cenderung didominasi oleh neoliberalisme; oleh semangat privatisasi ekstrem, semangat melucuti peran negara, dan semangat menghapus subsidi bagi rakyat.
“No Volveran” menunjukkan bahwa neoliberalisme bukanlah keniscayaan. Bukan satu-satunya cara kita hidup. Bukan tanpa alternatif. “Another world is possible”.*
Sumber: Madina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar