Rasa takut merupakan naluri manusia dan bebas dari rasa ini merupakan salah satu dambaan manusia. Sebagian pakar berpendapat bahwa benih pertama timbulnya agama adalah rasa takut. Sesaji, kata mereka, adalah usaha manusia membebaskan dirinya dari rasa takut, dan itulah benih agama. Bahkan hingga kini, rasa cemas dan takut merupakan pendorong utama bagi keberagamaan manusia.
Kehidupan manusia -- suka atau tidak -- pasti diselingi oleh kesedihan, kecemasan, dan ketakutan. Banyak sekali dari hal-hal tersebut tidak dapat dicegah, meskipun dengan kerja keras sekalipun. Nah, di sinilah agama berperan sangat besar untuk meringankan beban itu. Benar juga agaknya ucapan Kierkegaard: "Kalau Anda dapat menghilangkan rasa cemas dan takut dari jiwa manusia, maka Anda dapat mengalihkan gereja-gereja menjadi tempat-tempat berdansa."
Kita boleh saja berbeda pendapat tentang benih agama. Tapi yang jelas setiap agama berusaha, melalui petunjuk-petunjuknya, untuk membebaskan manusia dari rasa takut di dunia dan di akhirat. Sebelum Adam a.s. menginjakkan kaki di bumi, Tuhan berpesan: Apabila nanti datang petunjnjuk-Ku kepadamu maka (ikutilah), barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, maka tiada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka bersedih (QS 2: 38).
Ada sekian banyak kewajiban atau tuntunan keagamaan yang digugurkan oleh rasa takut. Sebagai contoh, yang merasa takut dalam perjalanan atau di tempat tujuan, atau kurangnya jaminan hidup bagi keluarga yang ditinggal, gugurlah atasnya kewajiban haji. Ini baru satu contoh dari ratusan contoh.
PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) juga menjanjikan pelbagai usaha guna membebaskan masyarakat dunia dari rasa takut. Sayang, karena berbagai faktor -- antara lain karena rasa takut itu juga -- tidak jarang usahanya gagal. Islam mendukung setiap usaha membebaskan manusia dari rasa takut. Jangankan sekadar rasa takut, faktor-faktor yang dapat menimbulkan rasa takut pun dilarangnya. Misalnya, tekanan nyata atau terselubung terhadap pikiran atau kehendak, tidak dibenarkannya walaupun hal itu untuk tujuan keagamaan, apalagi karena ambisi yang kotor.
Pembuktian kebenaran agama melalui hal-hal yang bersifat supra-natural (mukjizat), tidak diandalkannya, karena hal tersebut dapat dianggap sebagai tekanan atau pemaksaan terhadap pikiran. Di sisi lain, puluhan ayat berbicara tentang kebebasan manusia untuk memilih apa yang dikehendakinya -- termasuk dalam memilih agama.
Peperangan menimbulkan korban jiwa dan harta benda, serta menyebarluaskan rasa takut. Dari sinilah agama tidak membenarkannya, kecuali pada saat terjadi agresi terhadap hak-hak kemanusiaan. Itu pun harus diakhiri dengan berakhirnya penganiayaan. Apabila mereka telah berhenti maka tidak dibenarkan lagi memerangi mereka, dan kalau peperangan masih dilanjutkan maka yang melanjutkan dinilai melakukan agresi. Ini petunjuk Islam, yang dapat dipahami dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 192.
Petunjuk di atas kini tentu sangat relevan dan perlu disadari oleh setiap Muslim, paling sedikit agar sikap batinnya selalu mengecam setiap penganiayaan meskipun atas nama pembelaan. Kalau tidak dapat mencegah kemungkaran dengan tangan, tidak pula dengan ucapan, maka dengan hati pun boleh, walau ia merupakan tanda kelemahan iman. Karena, kalau yang ini pun tidak, maka kehampaan iman yang terjadi. Bukankah kehampaan menyusul kelemahan?[]
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 246-248
Tidak ada komentar:
Posting Komentar