Tidak ada perbedaan pendapat menyangkut kewajiban belajar bagi setiap anak. Tetapi, bagaimanakah dengan bermain? Bukankah bermain merupakan salah satu kebutuhan pokok mereka?
Sejak dulu kala, anak-anak – manusia dan binatang – senantiasa bermain. Pada dinding-dinding kuil dan kuburan orang-orang Mesir kuno ditemukan relief-relief yang menggambarkan anak-anak sedang bermain. Menurut sebagian ahli, bola yang terbuat dari kain atau kulit-kulit binatang merupakan salah satu alat bermain yang tertua. Demikian juga ‘gasing’ yang disebut oleh filosof Plato dalam bukunya, Republic, dan dijadikan simbol kehidupan oleh salah seorang penyair Romawi. “Hidup kita ini,” katanya, “bagaikan gasing. Ia ditarik dengan tali namun tetap berputar dan menari.”
Dengan bermain, anak-anak mengekspresikan diri dan gejolak jiwanya. Karena itu, dengan permainan dan alat-alatnya, seseorang dapat mengetahui gejolak serta kecenderungan jiwa anak dan sekaligus dapat mengarahkannya. Dalam ajaran agama, ibu dan bapak dianjurkan untuk sering-sering bermain dengan anak. Nabi Muhammad saw. bersabda: "Siapa yang memiliki anak, makah hendaklah ia 'menjadi anak' pula (dalam arti, hendaklah ia memahami, menjadi sahabat, dan teman bermain anak-anaknya)."
Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw. pernah berlama-lama sujud dalam shalat karena ketika itu salah seorang cucunya sedang ‘menunggangi’ punggungnya, dan tidak jarang pula beliau bergegas menyelesaikan shalat hanya karena mendengar suara tangis anak.
Bermain atau mengantarkan anak bermain harus dibarengi dengan bimbingan dan pengarahan. Seringkali orangtua yang mengajak anaknya bermain justru mengarahkannya secara tidak sadar kepada hal-hal yang negatif. Kebiasaan semacam ini sejak dahulu hingga sekarangmasih sering terjadi.
Diogene Le Cynique, seorang filosof Yunani Kuno (413-323 SM) yang dikenal sangat gandrung mengecam adat kebiasaan masyarakatnya yang buruk, konon, suatu ketika mencambuk seorang ayah sambil berkata, “Aku melihat dan mendengar anakmu culas dan berbohong ketika sedang bermain. Ini diperolehnya darimu atau orang lain, tetapi kamu diam tidak menegurnya.”
Cukup banyak hambatan yang dihadapi orangtua dalam mengarahkan anak melalui permainan. Tidak hanya menyangkut waktu yang hampir habis untuk kesibukan di tempat kerja dan di jalan, tetapi juga "kemampuan" dalam memilih mainan yang sesuai dengan usia dan arah yang dikehendaki untuk anak. Belum soal kemampuan dalam daya beli.
Benar bahwa tempat rekreasi dan bermain sudah cukup banyak, khususnya di kota-kota besar negara kita. Tetapi, biaya untuk menikmatinya masih belum terjangkau oleh masyarakat luas, sehingga ada saja yang berusaha menjangkaunya dengan cara yang bertentangan dengan arah yang seharusnya dicapai. Ada saja orangtua yang menyulap usia anaknya atau mengajarnya berbohong menyangkut usianya demi mendapat keringanan biaya. Baru-baru ini bahkan ada negara yang disinyalir menyulap usia-usia pemainnya demi meraih reputasi dalam cabang olahraga.
Rupanya, dibutuhkan kerja sama semua pihak untuk menanggulangi banyaknya hambatan ini. Salah satu di antara yang terpenting adalah menyadarkan para orangtua bahwa bermain bukan sekadar bermain, tetapi merupakan kebutuhan pokok. Permainan merupakan ilmu, seni, dan pendidikan, baik untuk orang dewasa maupun – lebih-lebih lagi – untuk anak-anak.
“Ilmu itu cahaya”, demikian pernyataan yang sering kita dengar. Kini kita dapat mengumandangkan, “bermain itu belajar” dan “permainan itu ilmu”. Dan kalau ada ilmu yang dapat menjerumuskan manusia bila digunakan secara keliru, maka demikian pula dengan permainan. Ada permainan yang dapat menjerumuskan manusia, membahayakan fisik dan jiwa mereka, bahkan dapat membahayakan masyarakat dan masa depan bangsa.
Jika Diogene masih hidup, entah berapa banyak cemeti yang dihabiskannya untuk mencambuk kita – para orangtua.[]
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 268-271
Tidak ada komentar:
Posting Komentar