Tanah air yang merdeka dan kita nikmati berkat rahmat Allah SWT ini wajib kita syukuri."Syukur" dalam bahasa agama adalah "menggunakan segala nikmat yang dilimpahkan Tuhan sesuai dengan tujuan dianugerahkan-Nya."
Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa manusia ditugaskan untuk membangun bumi. "Malaikat mendambakan tugas ini, tetapi mereka tidak ditugaskan. Agaknya karena mereka hanya mampu 'melaksanakan apa yang diperintahkan Tuhan'. Mereka tidak memiliki daya kreasi atau inisiatif. Dunia tidak akan mengenal okulasi, insimilasi dan semacamnya seandainya malaikat yang membangun dunia ini," demikian kurang lebih terbaca dalam Tafsir Al-Manar.
Alam raya diciptakan oleh Allah untuk diolah manusia demi kenyamanan hidupnya di dunia dan kebahagiaannya di akhirat. Pada dasarnya kegiatan apa pun boleh dilakukan, hanya saja manusia diperingatkan bahwa "betapapun usiamu panjang, kematian pasti datang; kerjakan apa saja, tapi perhitungan akan ada." Apakah peringatan ini bertujuan menakut-nakuti? Tidak! Karena ia hak. Apakah ia menghambat pembangunan? Justru sebaliknya!
Sekelompok pemuda yang sedang duduk menganggur sambil tertawa diingatkan oleh Nabi saw.: "Perbanyaklah mengingat mati." Sahabat Anas bin Malik yang meriwayatkan hadis ini melanjutkan: "Bila saya tidak keliru, Nabi menambahkan 'Tidak seorang pun dalam kesempitan kemudian mengingatnya kecuali dilapangkan Tuhan hidupnya, ini karena keadaan hidup setelah mati ditentukan oleh sikap hidup sebelumnya. Bahagialah di dunia (dengan tolok ukur agama) niscaya Anda bahagia pula di akhirat.'"
Penyakit yang diderita oleh manusia, kegelisahan, dan kesengsaraannya adalah siksa-siksa Tuhan di dunia, menurut Al-Biqa'iy (W 1480 M). Tentu saja ini diderita akibat pelanggaran terhadap Sunnah-Nya. Setanlah yang menjanjikan kemiskinan, (QS 2: 268) kata Tuhan, sedangkan manusia didorong berusaha sambil memohon anugerahnya.
Manusia diperintahkan meneladani Tuhan sepanjang kemampuannya dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang ada. Bukankah Tuhan Mahakaya, Mahakuasa, dan sebagainya? Seseorang yang puas dengan perolehannya, sedangkan masih tersisa baginya kemampuan untuk menambah demi kemanfaatan diri atau makhluk lain pada hakikatnya tidak menghayati ajaran agama.
Benar bahwa dalam literatur agama dikenal istilah qana'ah, tetapi qana'ah bukan sekadar "merasa puas dengan apa yang dimiliki". Kepuasan yang dimaksud merupakan hasil akhir yang didahului oleh (1) keinginan meraih sesuatu, (2) usaha maksimal, (3) keberhasilan dalam usaha, (4) menyerahkan dengan sukacita apa yang telah diraihnya kepada yang butuh, dan karena (5) telah merasa puas dengan apa yang telah dimiliki sebelumnya.
Apabila Anda melihat potensi yang terabaikan atau pekerjaan sia-sia, maka yakinlah bahwa yang ditinggalkan dari tuntunan agama, tidak kurang dari hasil yang diraih bila potensi tersebut dimanfaatkan. Maukah Anda mengukur bersarnya keterlibatan umat dalam pembangunan, atau dalam bahasa agama "kadar syukur atas nikmat Tuhan"? Bertanyalah kepada Tuhan: Untuk apa Dia menciptakan lautan? Anda akan mendengar jawaban-Nya: Agar kamu dapat memakan darinya daging segar (ikan), memperoleh hiasan yang kamu pakai, kapal-kapal berlayar dan agar kamu mencari anugerah lainnya (QS 16: 14).
Setelah mendengar jawaban itu, telitilah berapa banyak ikan dan hiasan yang telah kita peroleh, berapa pula kapal kita yang berlayar, kemudian bandingkan dengan umat lain! Di situ Anda akan melihat kadar syukur kita dan ketika itu kita akan sadar bahwa tampaknya masih banyak potensi yang belum dimanfaatkan. Semoga semakin banyak syukur umat kita kepada-Nya.[]
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 137-139
Tidak ada komentar:
Posting Komentar