Suatu ketika terjadi perbincangan menyangkut suguhan acara-acara di televisi. "Kami tertegun di hadapan sebuah lukisan yang menggambarkan seorang wanita dengan make up yang sangat menyolok. Sungguh tidak serasi dan tidak menimbulkan decak kagum sedikit pun," kata salah seorang membuka perbincangan.
"Itulah kecantikan menurut versi pelukisnya," ujar salah seorang dari kami.
"Tidak, lukisan ini adalah wajah WTS. Pelukisnya menggambarkan betapa jeleknya ia, agar setiap orang merasa jijik dan menghindarinya," komentar yang lainnya lagi.
"Kedua penilaian yang berbeda itu dapat dibenarkan. Tetapi, lebih adil dan akan lebih mendekati kebenaran jika tidak menetapkan penilaian sebelum menyelami apa sebenarnya tujuan seniman itu ketika ia melukis. Dari sanalah kita dapat menetapkan penilaian baik buruk hasil karyanya," kata teman tadi.
"Tapi dari mana diketahui tujuannya? Bukankah ia tidak terucap atau terlukis olehnya?" tanya saya kepada teman itu.
"Anda harus memisahkan antara pengkhutbah dan seniman. Yang pertama menggunakan segala cara untuk mengobati patologi masyarakat dan mengantar mereka menuju keluhuran budi pekerti dan kesucian jiwa, sedangkan seniman menggambarkan apa adanya baik atau buruk dan mempersilakan Anda melihat dari sisi mana yang Anda inginkan untuk diri Anda. Seniman bagaikan penjelajah, dia mencatat apa saja yang ditemuinya. Ketelitian dan kejujurannya menuntutnya untuk menghidangkan semua itu sebagaimana adanya. Televisi kita, dalam film dan sinetronnya, adalah karya-karya seniman, bukan karya seorang pengkhutbah," demikian kilah teman saya.
Sebagai cendekia, boleh jadi pendapat di atas dapat dimengerti. Tetapi sebagai pendidik, sulit dan amat sulit, bukan saja karena sebagian filim-film tersebut tidak menggambarkan keadaan sebenarnya di bumi Indonesia---karena ia adalah hasil karya seniman luar---tetapi juga karena ia ditonton oleh anak-anak yang belum dapat membuat penilaian baik dan buruk. Mereka baru mampu mencontoh apa yang terhidang. Inilah sebabnya banyak pendidik merasa risau dengan sebagian tayangan acara televisi kita.
Seniman boleh saja melukiskan apa adanya. Kitab Suci Al-Quran pun melukiskan kelemahan manusia: Dan wanita yang Yusuf tinggal di rumahnya, merayu sambil menutup pintu-pintu dengan amat rapat, kemudian berkata: "Inilah daku, marilah kemari." Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan itu) dengan Yusuf; Yusuf pun bermaksud (melakukan itu) dengannya. Seandainya dia tidak melihat tanda dari Tuhannya (pasti mereka terjerumus) (QS 12: 23).
Anda dipersilakan Al-Quran untuk membayangkan apa yang terjadi ketika itu. Tetapi seni Al-Quran tidak sampai pada sesuatu yang menimbulkan rangsangan kotor. Sebab Kitab Suci ini berfungsi sebagai seniman pendidik, maka ia tidak membiarkan peserta didiknya mengambil kesimpulan sendiri, tetapi Dia mengantarnya, hingga mencapai kesucian jiwa dan keluhuran budi.
Apakah ini harapan berlebihan dari pengkhutbah dan pendidik? Kalaupun teman di atas tidak mendengarnya, semoga televisi kita mendengarnya. Dan boleh jadi ini merupakan sebuah kritik, namun ia muncul dari lubuk seorang pencinta. Dan kata seniman: "Cinta tidak hanya disuburkan oleh rayuan, tetapi juga kepalangan dada untuk mendengar keluhan." Demikian harapan kita pada televisi-televisi kita yang semakin banyak dan menyuguhkan beragam acara.[]
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 316-318
Tidak ada komentar:
Posting Komentar