Peribahasa "diam itu emas" tidak hanya dikenal di negara kita atau di Inggris. Beberapa waktu yang lalu, ketika saya berkunjung ke Maroko untuk menghadiri suatu diskusi keagamaan, peribahasa tersebut saya dengar juga: "Diam itu emas dan bicara itu perak."
Tanpa menelusuri dari mana asal-muasal peribahasa tersebut, yang jelas, makna dan arah yang ditujunya sejalan dengan tuntunan agama. Sekian banyak petunjuk agama yang medorong agar seseorang selalu menimbang-nimbang segala apa yang akan diucapkannya, karena seperti peringatan Al-Quran: Tidak ada suatu ucapan yang diucapkan seseorang melainkan ada di dekat (pengucap)-nya (malaikat) pengawas yang selalu hadir (mencatat ucapan-ucapan tersebut) (QS 50: 18).
"Pembicaraan" dalam bahasa Al-Quran dinamai kalam. Dari akar kata yang sama dibentuk pula kata-kata yang berarti "luka" agar menjadi peringatan bahwa kalam juga dapat melukai. Bahkan, luka yang diakibatkan oleh lidah bisa lebih parah dari pada yang diakibatkan oleh pisau.
Ini semuanya seharusnya mengantarkan seseorang untuk selalu berhati-hati, memikirkan, dan merenungkan apa yang akan diucapkannya: "Anda menawan apa yang akan Anda ucapkan, tetapi begitu terucapkan maka Anda-lah yang menjadi tawanannya."
Ada sementara orang memilik "nafsu" berbicara melebihi "selera" makannya. Ia berbicara tentang apa saja, seakan-akan ia mengetahui segala sesuatu atau seakan-akan hidupnya hanya digunakan untuk berbicara. Dalam tuntunan agama, jangankan berbicara dalam bentuk menguraikan pendapat, berbicara dalam bentuk bertanya sekalipun diingatkan agar tidak sembarangan. "Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepada kamu, maka (hal itu) akan menyusahkanmu" (QS 5: 101).
Terkadang suatu pembicaraan atau pertanyaan sepintas lalu terlihat sebagai berkaitan dengan agama, tetapi sebenarnya agama tidak merestuinya. Seseorang misalnya bertanya : "Apakah Anda berpuasa?" Apabila Anda menjawab "ya", maka jawaban ini dapat menimbulkan riya' dan pamrih. Namun apabila Anda menjawab "tidak" sedangkan Anda berpuasa, maka Anda telah berbohong. Bila Anda diam tidak menjawab, maka Anda dapat dinilai angkuh, dan apabila Anda menjawab secara diplomatis, maka paling tidak Anda dipaksa untuk memeras keringat berpikir guna menyusun redaksi yang tepat.
Keempat alternatif di atas tidak direstui agama. Demikian lebih kurang tulis Imam Al-Ghazali.
Sifat umum dan dasar dari redaksi-redaksi Al-Quran adalah singkat dan padat. Begitu juga khutbah dan sabda-sabda Nabi. "Salah satu tanda kedalaman ilmu seseorang adalah mempersingkat khutbah (Jumat)," demikian sabda Rasulullah saw.
Agaknya cukup banyak materi pembicaraan kita termasuk dalam uraian-uraian keagamaan---yang sewajarnya tidak perlu diucapkan, sebagaimana tidak sedikit pembicaraan dan pertanyaan yang sewajarnya tidak atau belum perlu diajukan.
Ketika Neil Amstrong menginjakkan kakinya di bulan, ada yang bertanya: "Bagaimana seorang Muslim melaksanakan shalat di bulan?" Jawaban yang paling tepat ketika itu adalah: "Masalah ini akan kita bahas bila telah ada seorang Muslim yang mendarat di sana." Di sinilah, antara lain, berlaku ungkapan: "Diam itu emas dan bicara itu perak." Wallahu a'lam.[]
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 343-345
Tidak ada komentar:
Posting Komentar