Sabtu, 20 Februari 2016

Mempercayai Peristiwa Isra’ dan Mi’raj

Isra'-Mi'raj atau perjalanan Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Bait Al-Maqdis, naik ke Sidrat Al-Muntaha - bahkan melampauinya - lalu kembali lagi ke Makkah dalam satu waktu yang sangat singkat merupakan peristiwa suprarasional yang tidak dapat dihayati kecuali melalui pendekatan imani. Peristiwa itu membuktikan bahwa ilmu dan kodrat Ilahi menjangkau bahkan melampaui segala sesuatu.

Memang, dapat saja kaum empiris dan rasionalis yang melepaskan diri dari bimbingan wahyu berkata, "Bagaimana mungkin peristiwa tersebut dapat terjadi, bukankah ia tidak sesuai dengan hukum-hukum alam, tidak dapat dibuktikan dengan patokan-patokan logika? Bagaimana mungkin kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya dapat terjadi pada seseorang?

Kita dapat berkata kepada mereka, "Kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa setiap sistem gerak mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem gerak yang lain. Kenyataan empiris pun membuktikan bahwa kebutuhan akan waktu untuk mencapai suatu sasaran berbeda antara sesuatu dengan lainnya. Benda padat membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan suara, demikikan pula suara dibandingkan dengan cahaya, sehingga pada akhirnya kita dapat berkata bahwa ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu untuk mencapai sasaran yang dikehendakinya."

Al-Quran menegaskan: Dan sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran, dan perintah Kami (Allah) hanyalah suatu perkataan seperti kejapan mata (QS 54: 49-50). Sesungguhnya keadaan-Nya bila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia (QS 36: 82).

Segala sesuatu menurut ilmuwan - demikian pula menurut Al-Quran - mempunyai sebab-sebab, tetapi apakah sebab-sebab itu yang mewujudkannya? Tidak! Yang diketahui secara pasti oleh para ilmuwan hanyalah bahwa "sebab" mendahului atau berbarengan dengan "musabab", dan keadaannya yang demikian itu bukan bukti bahwa "sebab mewujudkan sesuatu".

Pengetahuan manusia terbatas, hasil-hasil penemuan ilmiahnya diperoleh melalui usaha coba-coba (trial and error) atau melakukan pengamatan dan percobaan terhadap gejala-gejala alam yang dapat dilakukan oleh siapa, kapan, dan di mana pun. Peristiwa Isra'-Mi'raj hanya terjadi sekali sehingga tidak dapat diamati, dicoba-coba, atau dilakukan terhadapnya suatu percobaan. Jika demikian, maka setiap usaha untuk membuktikannya secara ilmiah menjadi tidak ilmiah lagi.

Kierkegard, tokoh filsafat eksistensialisme, berpendapat bahwa seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, tetapi karena ia tidak tahu. Sementara itu, Immanuel Kant menyampaikan bahwa ia terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi menyediakan waktu bagi hatinya untuk percaya.

Kaum Muslim mempercayai Isra' dan Mi'raj karena tidak ada perbedaan antara peristiwa yang terjadi hanya sekali dan yang terjadi berulang-ulang kali, selama yang menjadikannya adalah Tuhan Yang Mahakuasa.

Nasihat Al-Quran kepada Nabi sebelum menguraikan peristiwa Isra' adalah Tabahlah hai Muhammad! Tiadalah ketabahan melainkan dengan pertolongan Allah. Jangan bersedih hati dan jangan pula bersempit dada terhadap apa-apa yang akan mereka tipu-dayakan (QS 16: 127). Dan sebelum mengakhiri suarah Al-Quran yang berbicara tentang Isra' Allah mengajarkan kepada Nabi dan kepada kaum Muslim untuk berkata: Katakanlah! Percayalah atau tidak usah percaya, sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud (QS 17: 107). Mahabenar Allah dalam segala firman-Nya.[]

M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 416-418

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...