Waktu adalah "seluruh rangkaian saat yang telah berlalu, sekarang, maupun yang akan datang", demikian Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertiannya.
Dalam Al-Quran, kata waqt (waktu) ditemukan tiga kali, hanya saja konteks penggunaan dan makna yang dikandungnya tidak sama dengan apa yang dikemukakan di atas. Kata tersebut digunakan dalam konteks pembicaraan tentang masa akhir hidup di dunia ini (baca QS 7: 187; 15: 38 dan 38: 81). Dari sini, dan setelah menelusuri seluruh bentuk kata yang berakar pada kata waqt, para pakar akhirnya menyimpulkan bahwa waqt adalah batas akhir dari masa yang seharusnya digunakan untuk bekerja. Demikianlah waktu yang dikaitkan dengan kerja.
Kata lain yang digunakan oleh Al-Quran untuk menunjuk kepada "masa" adalah 'ashr. Kata ini, walaupun hanya ditemukan sekali dalam Al-Quran (pada surah Al-'Ashr), tetapi kaitannya dengan "kerja keras" justru sangat jelas. Apalagi ia digunakan dalam konteks pembicaraan menyangkut kehidupan duniawi.
Kata 'ashr terambil dari akar kata yang berarti "memeras atau menekan sekuat tenaga sehingga bagian yang terdalam dari sesuatu dapat keluar dan nampak di permukaan". Al-Quran menamainya 'ashr karena manusia dituntut untuk menggunakannya dengan sekuat tenaga, memeras keringat, sehingga sari kehidupan ini dapat diperoleh.
"Masa menjelang terbenamnya matahari" juga dinamai 'ashr (asar), karena saat itu seseorang telah selesai memeras tenaganya. Bukankah siang hari, pada dasarnya, dijadikan Tuhan untuk bekerja, dan malam hari untuk beristirahat? (QS 27: 86). Waktu adalah modal utama manusia: Apa yang luput dari usaha Anda masih mungkin Anda raih esok paginya, selama yang luput tersebut bukan waktu.
Dalam surah Wal-'Ashr, Tuhan bersumpah: "Demi 'ashr (waktu) semua manusia berada dalam wadah kerugian." Kerugiannya adalah karena tidak menggunakan 'ashr, dan kerugian tersebut seringkali baru disadari pada waktu asar (menjelang terbenamnya matahari). Adapun yang terhindar dari kerugian, menurut Al-Quran, adalah mereka yang memenuhi empat kriteria: pertama, yang mengenal kebenaran (amanu); kedua, yang mengamalkan kebenaran ('amilu al-shalihat); ketiga, yang ajar-mengajar menyangkut kebenaran (tawashauw bi al-haq); dan keempat, yang sabar dan tabah dalam mengamalkan serta mengajarkan kebenaran (tawashauw bi al-shabr).
Rupanya, kerugian belum terelakkan dengan sekadar mengetahui dan mengamalkan kebenaran. Kita dituntut pula untuk saling menjaga dan memelihara serta saling meningkatkan kualitas, kemudian berjuang bersama guna menikmati anugerah-anugerah Ilahi.
Para sahabat Nabi selalu membaca surah Wal-'Ashr setiap akan berpisah. Bagi kita sekarang ini, tampaknya, surah ini perlu juga dibaca pada saat bertemu, agar waktu kita tidak terisi dengan aktivitas yang merugikan.[]
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 112-114
Tidak ada komentar:
Posting Komentar