Terma "Syi'ah", secara etimologis berarti pengikut dan pendukung. Di dalam Al Quran, akar kata Syi'ah: syai' atau syuyu' dan derivasinya (penulis juga memasukkan kata jadian yang dihasilkan oleh proses Isytiqaq akbar a la Ibn Ginni) terulang sebanyak 13 kali. Namun dari ke 13 penggunaan kata tersebut, hanya ada satu kata yang digunakan dalam konteks kebaikan, yaitu QS. Ash-Shaffat: 83, yang menceritakan keluarga nabi Ibrahim AS. yang datang dengan hati bersih. Sedangkan 12 kata lainnya digunakan antara lain untuk mengungkapkan kelompok yang durhaka kepada Allah (QS.19: 69), dalam permusuhan dan perkelahian (QS. 28: 15), perpecahan (QS. 6: 65), pemecah belah agama (QS. 6: 159), kelompok Fir'aun (QS. 28: 4), kelompok yang dihancurkan (QS. 54: 51), penyebar keburukan (QS. 24: 19) dan seterusnya.
Secara terminologis, Syi'ah adalah kaum muslimin yang menganggap pengganti Nabi Saw. merupakan hak istimewa keluarga Nabi (dalam hal ini 'Ali KW dan keturunannya), dan mereka yang dalam bidang pengetahuan dan kebudayaan Islam mengikuti mazhab Ahlul Bait [16].
Dr. Muhammad 'Imarah menegaskan bahwa sekadar merasa cinta kepada ahli bait saja tidak cukup untuk menggolongkan seseorang sebagai Syi'ah. Seseorang baru bisa dikatakan Syi'ah, menurutnya lagi, jika ia telah mengimani bahwa Ali KW. (23 SH-40 H / 600 M-661 M) telah ditunjuk sebagai pengganti Rasulullah Saw. dengan nash dan washiat [17].
Tentang awal kemunculan Syi'ah dalam pentas sejarah dunia Islam, para penulis dan sejarawan terbagi dalam dua varian:
Varian pertama: Berpendapat bahwa tasyayyu'/syi'ah adalah mazhab pertama yang tumbuh dalam Islam, dan telah muncul pada masa Rasulullah Saw., dan nama Syi'ah adalah nama sekte pertama yang timbul dalam Islam. Sahabat-sahabat yang digolongkan Syi'ah adalah: Abu Dzar al-Ghifari r.a., Salman Al-Farisi r.a, Miqdad bin Aswad, dan 'Ammar bin Yasir r.a. Pendapat seperti itu tampak pada M.H. Thabathaba'i [19], Muhammah Jawwad al-Mughniyah [20], M.H. Al-Kasyif al-Ghitha [21] dan ulama-ulama Syi'ah lainnya. M.H. Kasyif al-Ghitha malah mengatakan bahwa adalah Rasulullah Saw. sendiri yang telah menanamkan akar Syi'ah [22].
Varian kedua: Berpendapat bahwa jika yang dimaksud adalah Syi'ah dalam pengertian terminologis, maka ia baru timbul pasca kepemimpinan 'Ali KW. dalam rentang waktu yang cukup panjang. Pendapat ini tampak pada penulis-penulis non-Syi'ah. Terutama Mu'tazilah, mereka mengatakan bahwa Syi'ah yang dikenal sekarang ini baru timbul pada masa Imam Ja'far Shadiq (80-148 H / 599 M-765 M) [23]. Melihat data-data yang ada, kedua pendapat di atas dapat digabungkan menjadi satu kesimpulan: Bahwa jika yang dimaksud dengan terma Syi'ah adalah sekadar fenomena keinginan sebagian orang untuk mengangkat 'Ali KW. sebagai khalifah, maka betul ia adalah mazhab pertama yang dikenal dalam sejarah Islam dan telah tumbuh pada masa akhir hidup Rasulullah Saw. dan awal kekhalifahan Abu Bakar RA. Namun, jika yang dimaksud dengan terma Syi'ah adalah sebuah mazhab besar dengan segala teori, pendapat dan perjalanan historisnya, maka ia baru timbul pada penghujung masa 'Utsman RA, dan awal masa 'Ali KW [24].
Dalam masa hidup Ali KW, menurut Abu Nasywan al-Himyary [25], Syi'ah yang mendukung 'Ali KW dalam perang Jamal dan Shiffin dapat diklasifikasikan dalam tiga varian kecenderungan.
Pertama: Adalah kecenderungan mayoritas Syi'ah saat itu, adalah kelompok yang mengakui kekhalifahan Abu bakar RA dan 'Umar RA. Mereka juga mengakui kekhalifahan 'Utsman RA hingga pada masa di mana 'Utsman RA telah melakukan perubahan dan melakukan hal-hal yang mereka anggap telah menyimpang.
Kedua: Kelompok yang lebih kecil dari kelompok pertama. Mereka berpendapat bahwa runtutan kekhalifahan setelah Rasulullah Saw. adalah Abu Bakar RA, 'Umar RA dan 'Ali KW. Sedangkah kekhalifahan 'Utsman RA tidak mereka akui. Oleh karena itu, menurut al-Jahidz, pada masa awal Islam, yang dinamakan syi'i adalah orang-orang yang mendahulukan 'Ali KW atas 'Utsman RA. Sehingga, menurutnya lagi, saat itu dikenal ada Syi'i dan 'Utsmani. Yang pertama adalah orang-orang yang mendahulukan 'Ali KW atas 'Utsman RA, sedangkan yang kedua adalah orang yang mendahulukan 'Utsman atas 'Ali KW.
Ketiga: Kelompok yang paling kecil. Yaitu mereka yang menganggap bahwa orang yang paling utama memangku kekhalifahan setelah Rasulullah Saw adalah 'Ali KW.
Dari ketiga kecenderungan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa mayoritas pendukung Syi'ah tidak melebihkan 'Ali atas semua sahabat Rasulullah Saw. Namun mereka hanya melebihkannya atas 'Utsman. Dan, pelebihan mereka atas 'Utsman itu pun bukanlah sebuah konsensus pemikiran yang diamini oleh semua pendukung Syi'ah, namun mayoritas mereka melebihkannya atas 'Utsman RA. setelah 'Utsman RA melakukan tindakan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang mereka anggap telah melanggar sunnah Rasulullah Saw. dan dua khalifah sebelumnya [26]. Dan, tentu saja apa yang sedang berlangsung pada masa tersebut adalah sebuah proses tarik-menarik antar masing-masing kekuatan politik dengan masing-masing pendukungnya. Sesuatu yang logis terjadi dalam sebuah sistem masyarakat di mana pun berada.
Perang Jamal dan Shiffin yang berakhir dengan arbitrase, yang kemudian mendorong timbulnya Khawarij dan Murji'ah, ditambah dengan pembantaian Karbala, mendorong mereka untuk mencari akar ideologis mereka sendiri. Sejarah memang telah mencatat betapa perlakuan dan nasib yang menimpa mereka amat malang. Pasca perang Shiffin yang merenggut kekuasaan politik mereka, diteruskan dengan pembantaian Karbala dan terbunuhnya Husein RA, sejarah memang tampak tidak berpihak kepada mereka. Setelah tragedi-tragedi yang menyedihkan tersebut, mereka masih terus dihantui pengejaran serta pembantaian secara massal terhadap Ahli Bait Rasulullah Saw. dan pendukungnya.
Dalam buku Khilafah dan Kerajaan yang ditulis oleh Abu al A'la al-Maududi, kita akan merasakan kesedihan yang dalam (atau malah menangis) ketika membaca penuturan penulis tentang perlakuan-perlakuan kejam yang telah menimpa keturunan Rasulullah Saw. Dengan cukup jelas ia menguraikan kejadian demi kejadian yang menimpa Ahlu Bait Rasulullah Saw.
Dalam masa-masa tersebut, terjadi kristalisasi klasifikasi in group dan out group dalam Syi'ah. Penentuan siapa kita dan siapa orang luar kita makin mengental, terutama proses pembentukan konsep ideologis dan metode mempertahankan diri. Contoh menarik bagi yang terakhir adalah dibentuknya konsep taqiyyah sebagai upaya untuk mempertahankan diri, kepercayaan, harta benda, dan harga diri. Syaikh al-Anshari mendefinisikan taqiyyah sebagai berikut: Menjaga diri dari perlakuan buruk dari orang lain dengan menyetujui perkataan dan perbuatannya yang bertentangan dengan kebenaran [27]. Sehingga terjadi kemudian transformasi kekuatan politik menjadi sebuah sistem ideologi (teologi) dalam Syi'ah.
Pada masa 'Ali k.w, pendukung (syi'ah) beliau tidak menggunakan nash-nash al-Qur'an dan Hadits untuk menjustifikasikan keberhakan 'Ali k.w. dan keturunannya sebagai pemegang kekhalifahan. Hal itu ditunjukkan oleh sikap 'Ali Kw yang membai'at Abu Bakar r.a., 'Umar r.a, dan 'Utsman r.a. Karena jika benar ada nash yang jelas-jelas menunjuk 'Ali k.w. sebagai pengganti Rasulullah Saw. tentunya 'Ali Kw. tidak akan membai'at orang lain untuk memangku jabatan itu sebanyak tiga kali, tanpa pernah menyinggung nash-nash itu. Namun, dalam proses transformasi Syi'ah dari sebuah kekuatan politik menjadi sebuah ideologi (teologi), kita dapati kemudian semua kecenderungan politis dan teologis Syi'ah telah mempunyai "mantel" baik dari al-Qur'an maupun Hadits.
Tentang al-Qur'an, penghampiran teologis Syi'ah dalam al-Qur'an tampak dalam klaim yang sering didengungkan bahwa Syi'ah mempercayai adanya pengurangan dan penambahan Al-Quran [28]. Walaupun pendapat itu, saat ini, ditolak oleh banyak ulama-ulama Syi'ah [29], namun pada dataran realitas, klaim tersebut dapat menemukan justifikasinya karena ia memang tertulis dalam kitab-kitab yang mu'tamad dalam Syi'ah [30]. Salah satu bentuk pengurangan Al-Quran, menurut Syi'ah adalah penghapusan nama 'Ali k.w. dalam Al-Quran. Misalnya adalah dalam QS. Al Ahzab: 71. Menurut riwayat al-Kulayni --dalam kitabnya al -âfi [31]-- seharusnya tertulis: Wa man yuthi'i Allah wa rasûlahu (fî wilâyati 'Aly wa al aimmah ba'dahu) faqad fâza. Bentuk lain penghampiran teologis Syi'ah pada Al Quran adalah dengan menafsirkan dan mentakwilkan Al-Quran sesuai dengan konsep-konsep mazhab tersebut. Misalnya dalam tafsir al-Mîzân karya M.H. Thathaba'i, kita dapati: ketika sampai pada QS. Ali Imran: 163. firman Allah Swt: Hum darajâtun 'inda Rabbihim, ia menafsirkan: Dari ash-Shadiq: Orang -orang yang mengikuti keridlaan Allah Swt. adalah para imam. Mereka, demi Allah! adalah derajat-derajat di sisi Allah bagi orang mu'minin. Dengan loyalitas dan kecintaan mereka kepada kami, Allah Swt. akan melipat gandakan ganjaran pahala mereka dan mengangkat derajat mereka. Sedangkan orang-orang yang mendapatkan kemurkaan Allah Swt. adalah orang yang mengingkari hak 'Ali dan hak imam-imam Ahli Bait. Oleh karena itu mereka mendapat murka Allah Swt. [32].
Dalam tataran hadits, penghampiran teologis terhadap konsep-konsep Syî'ah makin mengental. Di sini, kita memang dituntut untuk lebih banyak lagi mencurahkan perhatian dan energi. Karena konsep-konsep ilmu hadits Syi'ah berlainan atau malah, dalam beberapa segi, berseberangan dengan konsep hadits dalam wacana keilmuan Ahlu Sunnah. Oleh karena itu, pada sub-judul yang akan datang penulis akan memberikan stressing-point pada kajian hadits dalam wacana keilmuan Syi'ah. Secara sambil lalu, perlu ditekankan bahwa sekte Syî'ah bukanlah tunggal, namun ia terdiri dari beberapa sekte kecil di dalamnya [33].
oleh Abdul Hayyie al-Kattani
Sumber: ISNET
Tidak ada komentar:
Posting Komentar