Rasanya baru kali ini aparat keamanan Indonesia menyiapkan sebuah demonstrasi dengan luar biasa. Disambut dengan hangat, meriah, dan bahkan dengan fasilitas yang serba mewah. Disiapkan tempat yang nyaman, posisi yang cocok buat ikhwan-akhwat, layanan kesehatan dan MCK cukup banyak, sigap menangani laporan masuk dan bahkan berfoto-foto “akrab” seusai rapat koordinasi persiapannya. Sungguh saya cemburu dibuatnya.
Seandainya polisi bersikap sama untuk petani Sukamulya, Majalengka, yang sawah dan penghidupannya terancam karena pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB). Proses yang minim dialog antar pihak mengakibatkan pecahnya kekerasan di tengah pematang sawah.
Tangis sejumlah warga tak terbendung, dilanjutkan penangkapan pada sejumlah petani. Dengan segera pula mereka ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan “melawan aparatur negara”.
Kekerasan serupa juga terjadi Langkat, Sumatra Utara, dan beberapa derah lainnya. Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam dua tahun terakhir (2014-2015) terjadi serangkaian kekerasan dalam konflik agraria; 534 orang ditahan, 234 dianiaya, 56 tertembak dan 24 orang meninggal. Penggusuran lahan pertanian, kekerasan, teror dan kriminalisasi kerap terjadi akibat “proyek infrastruktur” yang getol digaungkan pemerintah saat ini.
Seandainya perilaku manusawi juga ditunjukkan pada teman-teman Papua. Setiap aksi Papua pasti dibubarkan, dianggap makar. Kebebasan berekspresi mahal sekali untuk warga Papua. Banyak orang menjadi tahanan politik karena itu. Bayangkan, semenjak rapat persiapan mereka sudah diawasi ketat, pemberitahuan aksi tidak disambut baik oleh arapat kemanan.
Penangkapan sudah pasti terjadi saat aksi digelar di beberapa kota di Indonesia. Dari data yang dihimpun LBH Jakarta, sejak April hingga September 2016, telah terjadi penangkapan terhadap 2.282 warga Papua yang melakukan aksi damai.
Salah satunya aksi kemarin (1 Desember 2016), Surya, Yohanes, Anka Thomas, dan lainnya mukanya memar, lebam, berdarah akibat pukulan dan tendangan polisi. Enam orang harus dibawa ke rumah sakit. Padahal, sekali lagi, aksinya damai. Dan entah kenapa selalu represif pendekatan kepolisian.
Seandainya polisi juga menggelar karpet merah mendatangi ibu-ibu yang setiap Kamis melakukan aksi diam memakai payung hitam di seberang Istana Merdeka. Mereka sudah ke-469 kali berdiri meminta pemerintah mengusut tuntas kasus-kasus yang melanda keluarga, anak, dan sahabat tercintanya.
Mereka adalah Ibunda Wawan, korban Semanggi I 1998, Bejo Untung yang dipenjara tanpa alasan jelas dalam peristiwa 1965, Ruminah yang anaknya hilang saat huru-hara Mei 1998. Tak pernah ada pengadilan HAM atas semua kasus yang mereka hadapi. Sampai sekarang mereka masih rutin menyurati Prsiden menuntut keadilan. Aksinya sudah sembilan tahun ajeg setiap Kamis sore melawan lupa.
Seandainya polisi aktif mencari bukti-bukti kuat untuk kasus pembunuhan keji aktivis HAM Munir yang masih mampet. Meski ada gugatan ke Komisi Informasi Publik (KIP), Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo malah saling lempar-tuding tanggung jawab. Padahal, dalam laporan Tim Pencari Fakta Munir, rekaman suara 41 hubungan telepon Pollycarpus dan Muchdi PR yang dikantongi polisi bisa dibuka agar menjadi bukti baru (novum) untuk peninjauan kembali (PK).
Seandainya polisi mau memediasi sejumlah kasus yang dijerat UU ITE agar tak berujung penjara. Baru-baru ini, Yusniar, ibu rumah tangga di Jeneponto, Sulawesi Selatan, harus mendekam di penjara gara-gara menulis status di Facebook. Kritis berpendapat, penjara yang akan didapat. Itu sejatinya keberadaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Eelektronik (ITE), meski sudah direvisi, substansinya tak berubah.
Dan siapa yang banyak melapor menggunakan pasal ini? Separuhnya adalah aparat negara (wali kota, bupati, gubernur, DPR/DPRD). Mereka merasa dicemarkan “nama baiknya”. Berdasar pantauan SafeNet, jumlah tiap tahunnya makin meningkat warga yang dikriminalisasi, terjadi 126 sepanjang 2008-2016 kasus.
Seandainya “kemesraan” serupa juga ditunjukkan aparat keamanan saat aksi buruh pada peringatan Mei. Tak hanya lalu lintas yang diatur, tapi juga memediasi tuntutan. Tak sekadar fasilitas kesehatan saat demo yang disiapkan, tapi juga terlibat memikirkan bagaimana kesejahteraan buruh soal pengupahan dan sistem kerja.
Memang, kita tahu ada banyak akrobat politik akhir-akhir ini. Ada safari politik ke tiap kesatuan tentara, diplomasi kuda, maupun lawatan ke organisasi-organisasi masyarakat. Dipersiapkan pula apel siaga dengan atribut tambahan “peci” untuk aparat keamanan. Tak luput pula mobilisasi isu “kebangsaan” digelar oleh tentara karena ada “proxy war”, katanya.
Entah dari dunia antah berantah macam apa bayang-bayang musuh dan peperangan itu terjadi, hanya panglima yang tahu.
Saya hanya membayangkan urusan-urusan yang terkait tuntutan tentang keadilan ekonomi, kelestarian lingkungan, penegakan hak-hak asasi manusia diperhatikan serius, difasilitasi serupa oleh pihak kepolisian.
Namun tiba-tiba saya terhenyak, bergegas bangun. Dan sayang seribu sayang, ternyata semua hanya mimpi belaka. Baru kucek-kucek mata, tiba-tiba ada pesan singkat masuk di ponsel: “Dik Sil, Kamisan ke-470 bisa ikut gabung? Ibu ingin ngobrol dan diskusi.” Sebuah pesan dari Sumarsih, ibunda Wawan korban Semanggi I 13 September 1998.
=========================
Sumber: Geotimes
=========================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar