Perdebatan dan perselisihan adalah hal yang wajar dan sudah seharusnya di dunia intelektual, termasuk sastra. Namun kasus buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh sungguh di luar kebiasaan. Bukan saja kasus itu sendiri, khususnya penobatan Denny JA sebagai salah satu “tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh”, bersifat cukup ekstrim. Tapi ada hal yang sangat aneh dan tidak lazim terjadi dalam perdebatan di dunia sastra, yaitu diskusi intelekual antarsastrawan dan pegiat sastra seputar buku tersebut mendadak dibawa ke ranah hukum, serta disosialisasikan lewat media massa di luar konteks dunia sastra. Tindakan tersebut cukup memprihatinkan, sebab dalam sosialisasi lewat media massa tersebut terjadi usaha penggiringan opini publik yang cukup mencolok. Perhatian dialihkan dari substansi kritik terhadap buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh pada lontaran berupa kata “bajingan” dan “penipu” yang berusaha dilepaskan dari konteks perdebatannya, dan fokus digeser dari Denny JA pada Fatin Hamama. Maka dalam pembahasan ini saya akan berfokus pada permasalahan penggiringan opini tersebut.
Banyak yang salah baca karena mereka menempatkan tekanan bukan pada BAGAIMANA membaca, melainkan pada APA yang dibaca, dan DI MANA suatu teks ditulis dan disajikan.
Tampilkan postingan dengan label Esai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Esai. Tampilkan semua postingan
Jumat, 05 Juni 2015
Tentang Penggiringan Opini Publik Dalam Skandal Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh
Label:
33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh,
boemipoetra,
Denny J.A.,
Esai,
Fatin Hamama,
Katrin Bandel,
Komnas Perempuan,
Polemik Sastra,
Puisi Esai,
Saut Situmorang
Langganan:
Postingan (Atom)