Berbicara tentang kepahlawanan, biasanya mengundang pembicaraan tentang jihad. Karena tiada kepahlawanan tanpa jihad.
Ada kesalahpahaman tentang pengertian jihad. Ini mungkin disebabkan oleh seringkalinya kata itu baru terucapkan pada saat perjuangan fisik, sehingga diidentikkan dengan perlawanan bersenjata. Kesalahpahaman ini disuburkan juga oleh terjemahan yang keliru terhadap ayat-ayat Al-Quran, yang berbicara tentang jihad, dengan anfus dan harta benda. Kata anfus seringkali diterjemahkan dengan "jiwa". Terjemahan Al-Quran oleh Departemen Agama pun demikian. Lihat, misalnya, QS 8: 72; 49:15, walaupun ada juga yang diterjemahkan dengan "diri" (QS 9: 88).
Memang, dalam Al-Quran, banyak arti dari kata anfus, yaitu "nyawa", "hati", "jenis", dan "totalitas manusia" di mana terpadu jiwa raganya. Al-Quran mempersonifikasikan wujud seseorang di hadapan Allah dan masyarakat dengan menggunakan kata nafs. Kalau demikian, tidak meleset jika kata itu dalam konteks jihad dipahami dalam arti totalitas manusia. Sehingga, kata nafs mencakup nyawa, emosi, pengetahuan, tenaga dan pikiran, bahkan juga waktu dan tempat, karena manusia tidak dapat memisahkan diri darinya. Pengertian ini dapat diperkuat dengan adanya perintah berjihad tanpa menyebutkan nafs atau harta benda (QS 22: 78).
Sekitar 40 kali kata jihad disebut oleh Al-Quran dengan berbagai bentuknya. Maknanya bermuara pada "mencurahkan seluruh kemampuan" atau "menanggung pengorbanan". Mujahid adalah orang yang mencurahkan seluruh kemampuannya dan berkorban dengan nyawa atau tenaga, pikiran, emosi dan apa saja yang berkaitan dengan diri manusia. Sedangkan jihad adalah cara untuk mencapai tujuan. Jihad tidak mengenal putus asa, menyerah, bahkan kelesuan, dan tidak pula pamrih.
Jihad tidak dapat dilakukan tanpa modal, karena itu jihad disesuaikan dengan modal yang miliki dan tujuan yang ingin dicapai. Sebelum tujuan tersebut tercapai dan selama masih ada modal di tangan, selama itu pula jihad dituntut. Karena jihad harus dengan modal, maka mujahid tidak mengambil tetapi memberi. Bukan mujahid yang menanti imbalan selain dari Allah, karena jihad diperintahkan untuk dilakukan semata-mata karena Allah. Jihad adalah titik tolak seluruh upaya, karenanya ia adalah puncak segala aktivitas. Ia bermula dari upaya mewujudkan jati diri, dan ini bermula dari kesadaran. Karena itu Allah menekankan: Siapa yang berjihad, maka sesungguhnya ia berjihad untuk dirinya sendiri. Allah Mahakaya, tidak memerlukan sesuatu apa pun dari seluruh alam (QS 29: 6). Dan kesadaran harus berdasarkan pengetahuan serta bertentangan dengan paksaan. Karena itulah seorang mujahid bersedia berkorban.
Beragam jihad, beragam pula buahnya. Buah jihad seorang ilmuwan adalah pemanfaatan ilmunya, sementara buah jihad seorang karyawan adalah karyanya yang baik, guru adalah pendidikannya yang sempurna, pemimpin adalah keadilannya, pengusaha adalah kejujurannya, demikian seterusnya.
Dahulu, ketika kemerdekaan belum diraih, jihad mengakibatkan terenggutnya nyawa, dan hilangnya harta benda. Kini, jihad harus membuahkan terpeliharanya jiwa, mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab, serta berkembangnya harta benda. Apakah kamu menduga akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata pula yang tabah? (QS 3: 142).[]
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 106-108
Tidak ada komentar:
Posting Komentar