Dua kali malaikat pernah "memprotes" Tuhan. Pertama, ketika Allah menyampaikan maksudnya menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Malaikat merasa dirinya lebih wajar daripada manusia, tetapi pilihan Tuhan dibuktikan kebenarannya melalui ujian lisan. Ternyata malaikat gagal dan manusia lulus, bahkan berhasil mengajar malaikat (QS 2: 30).
Setelah sekian lama manusia mengelola bumi, "protes" kedua muncul lagi, "Terlalu banyak dosa manusia dan lingkungannya pun dirusaknya," keluh malaikat. Mereka kini kembali merasa lebih bersih dan mampu daripada manusia yang menjadi khalifah di bumi. Untuk kali ini, ujian dilakukan lagi tetapi dalam bentuk praktik. Para "pemrotes" dipersilakan memilih wakil mereka untuk menggantikan manusia, dan terpilihlah dua "orang" malaikat, yaitu Harut dan Marut.
Di bumi keduanya bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik dan bersedia "melayani" sang malaikat dengan syarat keduanya mempersekutukan Tuhan terlebih dahulu. Syarat yang teramat berat ini mereka tolak. "Kalau begitu membunuh saja," rayu si jelita. Dan syarat ini pun ditampiknya.
"Dengan seteguk minuman keras, maka akan kuserahkan diriku kepadamu masing-masing," ucap si jelita lagi. Untuk kali ini Harut dan Marut setuju. Tetapi begitu meneguk minuman keras tersebut, mereka kemudian mabuk dan tidak dapat menahan dirinya. Saat itulah mereka membunuh, mempersekutukan Tuhan, bahkan rahasia langit pun mereka ungkap, sehingga sang pelacur berubah menjadi planet Mars yang telah kita kenal itu.
Inilah rangkuman mitos Arab kuno serta berbagai riwayat yang ditemukan dalam beberapa tafsir yang menjelaskan siapa Harut dan Marut, dua nama yang disebut dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 102.
Bagi sebagian pemikir Muslim kontemporer, mitos di atas dipahami sebagai simbol kehidupan berpolitik masyarakat manusia. Kelompok yang berada di luar pemerintahan selalu menilai pemerintahan dengan kekurangan dan kegagalan. Sebaliknya, orang yang berada di luar pemerintahan menganggap dirinya bersih, mampu, serta pasti sukses jika menjalankan tugas pemerintahan. Tetapi, tidak demikian itu kenyataannya bila yang di "luar" masuk ke "dalam", walaupun kelompok "luar" itu memilih wakilnya yang terbaik. Dalam kenyataannya, mereka tidak lebih bersih (kalau enggan untuk mengatakan tidak kurang kotor) dari yang mereka gugat.
Memang, pada mulanya mereka (tampak) memiliki idealisme tetapi sebentar saja mereka pun tergelincir, sebagaimana si Harut dan Marut. Pada awalnya pun yang "dijual" hanyalah yang kecil-kecil, imbalannya pun hanya "seteguk minuman keras", tetapi tanpa disadari segalanya dapat terjual.
Prof. Dr. Zaki Mahmud, seorang cendekiawan Mesir, melihat makna lain dari mitos tersebut. Katanya, malaikat yang merupakan "makhluk yang berpikir tapi tidak memiliki jasmani" oleh mitos ini adalah ilmuwan, sedangkan "bumi" yang dimaksud oleh mitos adalah "kehidupan praktis khususnya di bidang politik." Di sini Prof. Zaki bertanya, sebagaimana sering juga kita pertanyakan, "Wajarkah ilmuwan atau pemikir terlibat langsung dalam politik praktis? Berhasilkah mereka jika memegang tampuk pemerintahan? Tidak!" Itulah makna mitos di atas. Bukankah malaikat yang memerankan "pemikir" gagal dalam tugas yang ia ingin emban?!
Perlu digarisbawahi bahwa ini bukan jawaban Al-Quran, ini hanya pemahaman seorang manusia tentang makna sebuah mitos atau riwayat yang nama pelakunya saja yang tercantum dalam Al-Quran. Karenanya, boleh juga mendukung pendapat Plato dalam bukunya Republic, "Para pemikir dan filosoflah yang paling tepat dan mampu untuk tugas kenegaraan." Ini tentu bisa kita terima apabila mereka tidak tergiur oleh rayuan bintang Mars yang gemerlapan itu, baik ketika ia muncul sebagai wanita, harta, ataupun popularitas. Wallah a'lam.[]
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 361-364
Tidak ada komentar:
Posting Komentar