Senin, 17 Agustus 2015

"Sekeping Taman Surga" di Bumi Indonesia

Tanah air kita diibaratkan bagai "sekeping surga yang diturunkan Tuhan ke bumi". Itulah rahmat Tuhan yang dianugerahkan-Nya kepada bangsa Indonesia. Ke mana pun kaki melangkah atau mata memandang akan terlihat tanah yang subur, pepohonan yang rindang, serta sawah ladang terbentang, belum lagi apa yang dikandung oleh buminya.

Sejak beribu-ribu tahun, tanah air ini tidak jemu-jemu mempersembahkan kepada putra-putranya aneka ragam hasil bumi. Tidak sesaat pun ia mogok ataupun lesu dalam berproduksi. Kerja sama yang demikian harmonis diperagakan oleh segala unsurnya: tumbuh-tumbuhan mengeluarkan oksigen agar dihirup oleh binatang, sementara binatang dan manusia pun memberi karbondioksida agar pepohonan dapat mekar dan berbuah.

Demikianlah, apa yang tidak dibutuhkan oleh sesuatu diberikan kepada yang lain. Sungai-sungai mengairi tumbuhan, hutan membendung banjir, matahari tak jemu-jemunya memberi kehangatan, air yang menguap akibat matahari dikembalikan oleh kerja sama awan dan angin. Apa gerangan yang terjadi bila masing-masing enggan memberi dan bekerja sama? Pasti kepunahan total yang terjadi!

Prinsip utama yang mengatur tata hidup tumbuh-tumbuhan dan binatang adalah kemampuannya meluruskan yang bengkok dalam perjalanan hidupnya, membetulkan yang salah, dan menyembuhkan yang sakit. Semunya dengan cara mandiri dan otomatis. 

Sebanyak apa potensi rerumputan yang hijau itu? Adakah sesuatu yang disia-siakannya? Jika kita dapat memahami apa yang dikatakannya, niscaya kita sadar bahwa tidak sesaat pun ia menyia-nyiakan waktu atau mengabaikan peranan yang diembannya. Walau ada pohon besar tumbuh berdampingan, masing-masing tetap mengemban tugasnya karena mereka sadar bahwa tumbuhan yang membangkang dari garis yang disuratkan, pasti akan mengalami kematian atau kekerdilan.

Pohon besar tidak akan mengambil porsi pohon lain yang tumbuh, walaupun kecil. Baik yang kecil maupun yang besar mengambil dari apa yang tersedia sesuai kebutuhan masing-masing. Agaknya, mereka tidak mengenal penumpukan, tidak pula pemborosan, apalagi penindasan. Tidak seperti masyarakat manusia yang menindas, mengambil, menumpuk, serta membuang yang tidak dibutuhkannya.

Ada sesuatu yang sangat ditakuti - walaupun oleh tumbuhan yang besar sekalipun - yang berasal dari suatu jenis dan bukan bangsanya atau bagian dari dirinya, yaitu benalu. Benalu menghisap secara perlahan-lahan makanan tanaman yang ditumpanginya sehingga membunuhnya.

"Sekeping taman surga" yang dihiasi oleh aneka ragam tumbuhan terbentang di bumi Indonesia. Sekeping surga itu telah kita rebut dengan darah dan air mata. Darinya, kita harus mampu menarik pelajaran agar kita dapat meraih surga yang berada di negeri sekarang.

Kita harus bekerja tanpa henti, penuh kepedulian, bekerja sama secara harmonis, tidak mengambil melebihi kebutuhan, apalagi menumpuk-numpuk. Kita harus mampu meluruskan sendiri apa yang bengkok dari perjalanan kita dan menyembuhkan apa yang sakit. Kita harus menjadi seperti tumbuh-tumbuhan yang tidak pernah keberatan oleh rimbunnya dedaunan dan tidak pula mengeluh. Bukankah ia makan, tumbuh, dan berbuah berdasarkan perhitungan yang teliti?

Dan, terakhir, kita harus waspada dari benalu. Kapan kita berhasil mencapai cita-cita kemerdekaan? Mungkin tidak keliru bila dikatakan, "pada saat kita mampu meniru rumput-rumput hijau yang bergoyang itu!"[]

M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 143-145

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...