Minggu, 30 Agustus 2015

‘Agama Sejati’ dan Celana Jins

Majalah Tempo, 30 Jan 2012. Rohman Budijanto, Wartawan

APA kira-kira reaksi publik kita ketika ada secarik produk mode diberi merek “Agama Sejati”? Besar kemungkinan akan gempar. Sulit terpikirkan bagaimana gaya berpakaian bisa diberi label “Agama Sejati”. Tapi, dari kawasan dunia bebas, produk berlabel True Religion ini malah sukses.

Saat masuk ke Indonesia, produk denim kelas atas karya suami-istri dari Los Angeles, Jeffrey dan Kym Lubell, ini tidak menimbulkan kehebohan. Salah satunya karena merek itu tak diindonesiakan, tetap True Religion. Ada jarak psikologis berbahasa yang menjaga agar yang memakai merek itu tidak dianggap sedang “mengamalkan agama sejati”.

Jika dicermati, ada banyak merek produk fashion dari negara Barat yang kalau diterjemahkan bisa aneh sekali. Ada produk laris berlabel Poison (parfum dari Christian Dior), Opium (parfum, Yves Saint Laurent), Agent Provocateurs (lingerie, parfum), Envy Me dan Guilty (keduanya parfum dari Gucci), Bathing Ape (produk fashion, lengkapnya A Bathing Ape in Lukewarm Water, disingkat BAPE), atau Urban Decay (mode).

Andaikan itu semua produk Indonesia, apa reaksi pasar ketika ada merek-merek produk gaya hidup berlabel Racun, Opium, Agen Provokator, Silakan Cemburu, Anda Bersalah, Monyet Mandi atau Monyet Mandi di Dalam Air Suam-suam, dan Busuknya Kota? Tentu bagian pemasaran harus bekerja lebih keras untuk meyakinkan pasar bahwa produk itu baik-baik saja, bahkan berkelas premium.

Bahasa Inggris dan bahasa-bahasa (negara) Barat yang berekonomi mapan memang memiliki pengalaman dan perkembangan tersendiri. Kebebasan, yang dibela melebihi agama, memungkinkan bahasa dimanfaatkan sejauh mungkin, termasuk ke wilayah yang diejek dan disakralkan. Itu semua demi gaya hidup, “agama” yang kini paling banyak pengikutnya, terutama di perkotaan.

Hebatnya, ketika masuk ke Indonesia, produk-produk bernama “subversif” itu tak mengalami masalah. Kita tak pernah mendengar, misalnya, kasus penolakan Opium dan Poison dalam pemeriksaan Bea dan Cukai. Padahal opium dan racun biasanya menimbulkan masalah serius bagi pembawanya.

Tak hanya dari permainan makna, kadang nama merek diambil dari ungkapan tabu yang dipermainkan. Misalnya produk SpEX Symbol dan FCUK, yang juga top di dunia gaya hidup. Kuat sekali terkesan bahwa merek ini dibuat agar orang menoleh ke arahnya karena refleks persepsi seksual. Setelah mencermatinya, bisa jadi orang akan tersenyum. Kecele, tapi gemas.

Di Indonesia, merek lokal juga mulai mengadopsi ide “nakal” seperti itu. Ketika baru diluncurkan, Es Teler 77 menimbulkan kernyit di dahi. Apa kaitan es campur berbahan dasar santan, avokad, dan nangka ini dengan “teler” alias mabuk? Ternyata tak ada. Itu hanya pilihan nama.

Di Yogyakarta ada Dagadu. Ini adalah kata prokem dari “matamu”. Di sana, itu berarti umpatan. Tapi, setelah nama prokem berlambang mata ini dijadikan merek aneka suvenir, terutama kaus, ternyata sangat terkenal. Memang ada jarak psikologis yang membuat kata “matamu” terasa empuk bila berbentuk prokem: Dagadu.

Di Surabaya juga ada “merek” kuliner yang jadi ikon: Rawon Setan. Rawon ini diembel-embeli setan, konon, karena bukanya menjelang tengah malam. Berbagai kalangan, termasuk para agamawan (lawan abadi setan), ternyata menyukai makanan berbahan kuah hitam dan empal daging serta kecambah ini. Peduli setan namanya, yang penting enak.

Fenomena lain, di mal juga ditemukan minuman Air Mata Kucing. Orang mulai menerima produk mirip teh dari kelengkeng kering ini setelah menepis anggapan sedang menyesap cairan dari mata kucing. Ada juga produk distro Patahati bersimbolkan hati retak. Selain itu, ada resto Mbah Jingkrak, berlogo nenek berkebaya sedang berjingkrak.
Tentu masih banyak produk kreatif bernama di luar kotak kelaziman. Mereka menyerap anggapan negatif untuk memberi energi positif dalam dunia komersial yang memerlukan kejutan.
Pabrik rokok telah mendahului memakai nama “sepele” yang akhirnya jadi hebat. Djarum, Gudang Garam, dan Bentoel (bentul adalah sejenis talas) bisa menjadi contoh.

Tentu saja produk sukses tak hanya mengandalkan nama aneh. Nama keluar dari pakem hanyalah bahasa penggoda, agar orang menoleh ke produk itu di tengah rimba persaingan. Selebihnya, kesuksesan ditentukan kualitas dan penerimaan pasar.

Sumber gambar: shopbellamoda
Sumber tulisan: rubrikbahasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...