Kamis, 16 Juli 2015

Rumahku Surgaku

"Adalah kewajiban kita semua, agar setiap keluarga dapat menempati rumah tinggal yang layak." Kalimat ini mengingatkan saya akan pesan Allah SWT kepada Adam dan istrinya sebelum mereka menginjakkan kakinya di bumi: Hai Adam! Sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, jangan sampai ia membuat kamu terusir dari surga sehingga engkau bersusah payah (di bumi). Sesungguhnya di surga engkau tidak akan lapar, tidak pula telanjang. Sesungguhnya di sana engkau tidak akan dahaga, tidak juga kepanasan (QS 20: 117-121).

Ayat-ayat ini menggambarkan sekelumit kehidupan surgawi, serta kebutuhan pokok duniawi bagi manusia -- kapan dan di bagian bumi mana pun dia berada -- yaitu sandang (tidak telanjang), pangan (tidak lapar dan dahaga), dan papan (tidak kepanasan dan kedinginan). Allah juga mengisyaratkan kepada Adam agar bersungguh-sungguh bahkan "bersusah payah" untuk mendapatkan, antara lain, rumah yang melindungi diri dan keluarganya dari sengatan panas dan dingin.

"Rumah" dalam bahasa Al-Quran adalah sakan atau maskan, dan bentuk jadiannya masakin. Sakan terambil dari akar kata yang berarti "tenang". Agaknya, Al-Quran menamai rumah demikian ini untuk mengisyaratkan bahwa rumah seharusnya dapat memberikan ketenangan kepada penghuninya. Memang, manusia mendambakan agar rumahnya -- seperti ketika Adam dan Hawa di surga dahulu -- menjadi surganya. "Rumahku surgaku," demikian kata putra-putri Adam yang berbahagia.

Rumah-rumah di surga dinamai masakin thayyibah dan rumah-rumah di dunia pun akan menjadi surga jika faktor thayyibah itu terpenuhi. Thayyibah yang biasa diterjemahkan dengan "menyenangkan" baru dapat dicapai apabila terpenuhi beberapa syarat, antara lain, adalah hunian yang layak.

Kesenangan hidup, bahkan hidup itu sendiri, menurut filosof Inggris, Herbert Spencer, memerlukan adanya kesinambungan persesuaian antara apa yang dirasakan di dalam diri yang hidup dengan apa yang terjadi di luar. Hidup dalam substansinya yang paling dalam menuntut interaksi, sedangkan kematian adalah terhentinya interaksi itu. Ketika hujan atau terik matahari menimpa batu, ia tidak bereaksi dan hanya menerima keadaan tersebut karena batu bukan makhluk hidup. Makhluk hidup akan berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan bila persesuaian itu terpenuhi maka hidupnya menjadi layak.

Hidup dalam pengertian ini tentunya bertingkat-tingkat, yang merupakan akibat perbedaan kemampuan aksi dan reaksi manusia. Dalam bahasa sehari-hari, kita sering mendengar ungkapan: "Si A penuh kesungguhan dan penuh dinamisme." Ungkapan ini menunjukkan bahwa ada orang lain, yang hanya mempunyai setengah, seperempat, atau bahkan tidak memiliki sedikit pun kesungguhan. Orang ini, walaupun menarik dan menghembuskan nafas, pada hakikatnya tidak hidup.

Lingkungan seseorang, dalam pandangan agama, bukan hanya yang nampak secara fisik. Allah dan malaikan juga adalah bagian dari lingkungan kita. Karena itu, rumah yang menjadi surga buat penghuninya, atau rumah-rumah di surga nanti, bukan sekadar wujud bangunan, tetapi juga berkaitan dengan kepribadian, martabat kehidupan, serta hubungan yang serasi dengan lingkungan, baik yang terlihat dengan mata kepala maupun yang tidak terlihat.[]

M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 252-254

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...