Suatu peristiwa yang tidak sejalan dengan kebiasaan atau terjadi secara tidak terduga biasa dinamai “kebetulan”. Keterbatasan kemampuan dan pengetahuan mengantarkan kita untuk menamainya demikian, karena itu tidak ada “kebetulan” di sisi Allah SWT. Bukankah Dia Maha Mengetahui, Maha Berkuasa serta Pengendali dan Pengatur alam ini? Sebagian dari “kebetulan-kebetulan” itu tidak dapat ditafsirkan dengan teori kausalitas (sebab dan akibat). Sekali lagi, sebagian.
Satu dari sekian banyak contoh adalah peristiwa yang dialami oleh dua Presiden Amerika, Abraham Lincoln dan J. F. Kennedy. Yang pertama menjadi presiden pada 1860 dan yang kedua 1960. Pengganti Lincoln bernama Johnson (Andre) lahir 1808, sedangkan pengganti Kennedy juga Johnson (Lindon) lahir tahun 1908. Kedua presiden, Abraham dan Kennedy, terbunuh. Pembunuh Lincoln lahir pada 1839, sedangkan pembunuh Kennedy lahir pada 1939. Kedua pembunuh presiden ini terbunuh sebelum sempat diadili.
Sekretaris Lincoln bernama Kennedy dan sekretaris Kennedy bernama Lincoln. Kedua sekretaris menyarankan kepada presiden agar tidak pergi ke tempat di mana kemudian terjadi pembunuhan, namun keduanya menolak. Pembunuh Lincoln melakukan pembunuhan di teater kemudian bersembunyi di pasar swalayan dan sebaliknya pembunuh Kennedy. Apakah semua itu kebetulan atau ada penafsiran lain?
Dalam kehidupan Nabi Muhammad saw., terdapat pula hal-hal yang dapat dinamai kebetulan-kebetulan. Beliau lahir, hijrah dan wafat pada hari Senin bulan Rabi’ Al-Awwal yang arti harfiahnya antara lain adalah “ketenangan”, “keadaan yang nyaman”, dan “kesuburan”. Ayah beliau bernama Abdullah yang mengandung makna “keharuman” dan “pengabdian kepada Allah”. Ibunya bernama Aminah (kedamaian dan keamanan). Bidan yang menangani kelahirannya adalah Asy-Syifa’ (kesembuhan, perolehan sempurna dan memuaskan), sedangkan yang menyusukan beliau adalah Halimah (yang lapang dada). Beliau sendiri diberi nama Muhammad (yang terpuji) – suatu nama yang sebelumnya tidak dikenal, sehingga menimbulkan pertanyaan sekian banyak orang: Mengapa kakeknya yang sejak kecil dinamai Syaibah (orang-tua yang bijaksana) menamainya demikian? Apakah nama-nama tersebut merupakan kebetulan-kebetulan atau ia merupakan isyarat-isyarat tentang kepribadian manusia ini?
Apakah makna kematian ayahnya sewaktu beliau masih dalam kandungan, kematian ibunya ketika ia masih kecil, kepergiannya ke desa menjauhi polusi kota, kehidupan masyarakat yang relatif belum mengenal peradaban? Apakah ini semua merupakan kebetulan-kebetulan ataukah bagian dari strategi Tuhan untuk menjauhkannya dari semua acuan yang dapat mempengaruhi pembentukan kepribadiannya – ibu, bapak, sekolah dan lingkungannya? Ketuhanan Yang Mahaesa yang dikumandangkannya di tengah-tengah dunia yang mempersekutukan Tuhan, kemanusiaan yang diajarkan pada dunia fanatisme-buta terhadap golongan maupun bangsa, bukti kebenaran yang dipaparkan dengan argumen logika di arena pengandalan mukjizat dan sihir, apakah semua ini lahir begitu saja tanpa suatu mukadimah atau sebab? Bila Anda menjawab “tidak”, maka orang akan berbalik bertanya: Apa sebab itu? Dapatkah kebejatan melahirkan kebaikan? Dapatkah penyakit menyembuhkan penyakit? Dapatkah jahiliah melahirkan Islam? Kalau Anda sekali lagi menjawab “tidak”, maka ketika itu Anda harus mengakui bahwa ada kenyataan yang tidak dapat ditafsirkan dengan teori sebab dan akibat yang kita kenal. Ketika itu Anda harus mengakui bahwa di samping sunnatullah, ada juga dinamai inayatullah (uluran tangan Ilahi) yang tidak harus selalu sama dengan Sunnah-Nya!
Bukankah sunnatullah yang secara keliru dinamai “hukum-hukum alam” tidak lain dari “kebiasaan-kebiasaan” yang dialami, kemudian diformulasikan? Bukankah ia pada hakikatnya hanyalah ikhtisar dari pukul rata statistik? Itulah anugerah Allah yang diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Mahaluas anugerah-Nya.[]
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 124-127
Tidak ada komentar:
Posting Komentar