"Kapankah Anda berlebaran, hari Sabtu ataukah hari Minggu? Bagaimana hukumnya yang berlebaran pada hari Sabtu, bukankah ketika itu masih Ramadhan?" tanya yang berlebaran hari Minggu.
"Bagaimana yang berpuasa hari Sabtu, bukankah puasa di hari lebaran haram?"
"Yang benar adalah yang berlebaran hari Sabtu, bukan yang Minggu," katanya membenarkan.
"Tidak, yang benar adalah yang Minggu," kata yang lain.
Inilah gambaran arti khilafiah dan inilah pandangan yang meyakini bahwa kebenaran dalam perincian agama hanya satu.
Mari kita dengar mereka yang berpendapat bahwa dalam rincian boleh jadi kebenaran itu beragam, selama semua menuntut ridha Ilahi. Bukankah empat adalah hasil dari dua kali dua, atau tiga tambah satu, atau dua tambah dua, atau lainnya lagi? Marilah kita simak argumentasinya.
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah berpesan kepada sekelompok pasukan: "Jangan shalat Ashar seorang di antaramu, kecuali di perkampungan Bani Quraizhah." Perjalanan demikian panjang, dan waktu Ashar telah hampir berlalu. Maka sebagian anggota kelompok melaksanakan shalat Asar sebelum tiba di tempat yang dituju, sedangkan yang lain berpegang pada bunyi teks dan bersikeras melaksanakannya di tempat yang dituju meskipun waktunya telah berlalu.
Ketika kemudian perbedaan ini dilaporkan kepada Nabi saw., beliau tidak menyalahkan siapa pun. Kedua-duanya dibenarkan walaupun berbeda. Dalam bahasa agama dikenal tanawwu' al-ibadah, (keragaman cara beribadah). Dalam disiplin ilmu ushul, sebagian ulama menganut prinsip la hukma lillâh qabla ijtihad al-mujtahid (belum ada ketetapan hukum Allah sebelum ada ijtihad dari mujtahid [orang yang memiliki otoritas menetapkan]), sehingga hukum Allah adalah apa yang ditetapkan pemilik otoritas, betapapun mereka berbeda semua direstui-Nya.
Yang memiliki otoritas – kalaupun salah – masih direstui Allah, bahkan diberi satu ganjaran. Ini semua karena adanya niat kesungguhannya mencari kebenaran. Tapi harus diingat, bahwa kelonggaran ini hanya diberikan dalam bidang furu' (rincian ajaran), misalnya, penetapan waktu Idul Fitri, dan yang berbeda pun harus memiliki otoritas ilmiah – mujtahid dalam bahasa hadisnya.
Ada satu hal yang dapat dipastikan, yaitu bahwa "yang berlebaran pada hari A tidak kurang keikhlasannya dalam mengikuti ajaran agama daripada yang berlebaran pada hari B." Timbulnya perbedaan adalah akibat cara pandang dan bukan dalam tujuannya. Kita memang berbeda dalam hal penetapan waktu Idul Fitri, namun bukan pada makna yang dikandungnya. Bukankah kita semua beridul fitri?
Beridul fitri mengantarkan kita untuk bertenggang-rasa dan menyadari betapa besar toleransi Tuhan kepada hamba-hamba-Nya demi menciptakan keserasian hubungan. Salah satu arti Idul Fitri adalah "kembali kepada agama". Dalam hal ini Nabi mengingatkan bahwa al-din al-muamalah (keserasian hubungan adalah tanda keberagamaan yang benar). Di tempat lain, beliau juga mengingatkan bahwa al-din al-nasihah (agama adalah nasihat), sehingga setiap Muslim harus sadar bahwa masing-masing dapat melakukan kesalahan.
Pendapat seseorang maupun kelompok, betapapun diyakini benarnya, bisa terjadi kesalahan. Pendapat orang lain, walaupun dinilainya salah, mungkin saja ada unsur benarnya. Dalam pendapat, kita berselisih, namun di dalam dada kita tiada selisih.
Marilah kita saling mengucapkan apa yang diucapkan Rasulullah dalam menyambut Idul Fithri: "Taqabbalallahu minna wa minkum" (Semoga Allah berkenan menerima [ibadah] kami dan [ibadah] Anda semua.[]
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 426-428.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar