“Ibu” dalam bahasa Al-Quran dinamai dengan umm. Dari akar kata yang sama dibentuk kata imam [pemimpin] dan ummat. Kesemuanya bermuara pada makna “yang dituju” atau “yang diteladani”, dalam arti pandangan harus tertuju pada umat, pemimpin, dan ibu untuk diteladani. Umm atau “ibu” melalui perhatiannya kepada anak serta keteladanannya, serta perhatian anak kepadanya, dapat menciptakan pemimpin-pemimpin dan bahkan dapat membina umat. Sebaliknya, jika yang melahirkan seorang anak tidak berfungsi sebagai umm, maka umat akan hancur dan pemimpin [imam] yang wajar untuk diteladani pun tidak akan lahir.
Agaknya, ketika Al-Quran menempatkan kewajiban berbuat baik kepada orangtua – khususnya kepada ibu – pada urutan kedua setelah kewajiban taat kepada Allah, bukan hanya disebabkan karena ibu memikul beban yang berat dalam mengandung, melahirkan, dan menyusukan anak. Tetapi juga karena ibu dibebani tugas menciptakan pemimpin-pemimpin umat.
Fungsi dan peranan inilah yang menjadikannya sebagai umm atau ibu. Dan demi suksesnya fungsi tersebut, Tuhan menganugerahkan kepada kaum ibu struktur biologis dan ciri psikologis yang berbeda dengan kaum bapak. Peranan ibu sebagai pendidik generasi bukanlah sesuatu yang mudah. Peranan itu tidak dapat diremehkan atau dikesampingkan. Namun demikian, ini bukan berarti bahwa ibu harus terus menerus berada di rumah dan tidak mengikuti perkembangan. Juga, pada saat yang sama, ia tidak harus menelusuri jalan yang ditempuh oleh kaum bapak.
Maurice Bardeche, pakar dari negara Prancis yang dinilai sebagai pelopor yang mengumandangkan “kebebasan” dan “persamaan”, dalam bukunya Histoire des Femmes memperingatkan: “Janganlah hendaknya kaum ibu meniru kaum bapak, karena jika demikian akan lahir – bahkan telah lahir – jenis ketiga dari manusia.”
Sekali lagi, apa yang dikemukakan di atas bukan berarti bahwa kaum ibu harus terus-menerus berada di rumah – siap menanti kedatangan suami setelah menyiapkan makan dan membersihkan rumah – karena bukan itu yang menjadi tugas pokoknya.
Walaupun kita tidak sepenuhnya sependapat dengan ulama besar kenamaan Ibnu Hazm [384 – 456 H], namun tak ada salahnya untuk mengutip pendapatnya: “Baik dan terpuji apabila seorang ibu atau istri melayani suaminya, membersihkan dan mengatur rumah tempat tinggalnya, tetapi itu bukan merupakan kewajibannya. Makanan dan pakaian yang telah siap dan terjahit untuknya justru menjadi kewajiban bapak untuk menyediakannya.”
Agaknya, ketika ulama besar itu mengemukakan pendapatnya ini seribu tahun lalu, dan yang diidamkan oleh pelopor emansipasi, beliau ingin menekankan pentingnya kewajiban ibu dalam mendidik anak-anaknya.
Oleh karena itu, sebagai anak, kita berkewajiban mengingat jasa-jasa ibu: seteguk ASI yang pernah kita minum, setetes keringat yang pernah dicurahkannya, seuntai kalimat bimbingan yang pernah disampaikannya – kesemuanya itu tidak mungkin diimbangi atau terbalas. Kita hanya dapat bermohon: Rabbî irhamhumâ kamâ rabbayâni saghîra.[]
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 258-260
Tidak ada komentar:
Posting Komentar