Kata “kafir” dalam berbagai bentuknya terulang dalam Al-Quran sebanyak 525 kali. Kata ini pada mulanya berarti “menutupi”, karena para petani menutupi benih dengan tanah dinamai oleh Al-Quran “kuffar” (jamak dari kafir) (lihat QS 57: 20).
Teks-teks keagamaan menggunakan kata ini paling tidak untuk lima arti. Karenanya, janganlah cepat mengkafirkan seseorang (menilainya keluar dari agama) walaupun ada teks yang menunjuk kepada kekafirannya. Siapa tahu kata tersebut tidak berarti demikian. Salah satu arti “kafir” adalah “tidak mensyukuri nikmat”.
Kemerdekaan merupakan salah satu nikmat Allah. Dalam Al-Quran, Nabi saw. diperintahkan untuk merenungkan ucapan Nabi Musa a.s. yang menyerukan bangsanya untuk mengingat nikmat Allah SWT (lihat QS 5: 20). Dalam konteks inilah, antara lain, Allah menggunakan kata “kufur” sebagai lawan kata “syukur”, atau dengan kata lain “tidak mensyukuri nikmat”, yakni dalam firman-Nya yang cukup populer: Apabila kamu bersyukur, maka pasti akan Kutambah nikmat-Ku untukmu dan bila kamu kufur (tidak bersyukur) maka siksa-Ku amatlah pedih (QS 14: 7). Ayat ini memerintahkan mensyukuri nikmat kemerdekaan dan tidak mengkufurinya, tidak menutup-nutupinya. Hemat saya, mensyukurinya berarti mengisi kemerdekaan itu sesuai dengan tujuan kita meraihnya dan tujuan Tuhan menganugrahkannya kepada kita. Dengan kata yang singkat: mengisi kemerdekaan dengan pembangunan.
Al-Quran melukiskan akibat kekufuran terhadap nikmat kemerdekaan dalam suatu peristiwa yang menimpa suatu negeri yang tadinya aman sejahtera dan rezekinya melimpah ruah di segenap penjuru tetapi mereka kufur. Kemudian Allah menjadikan mereka merasakan kelaparan dan ketakutan disebabkan oleh ulah mereka sendiri (lihat QS 16: 112).
Kalau pesan ini kita pahami dalam kaitannya dengan negara kita, maka berarti Allah-lah yang telah menganugerahkan kepada kita tanah air yang kaya raya. Di dalam perut bumi dan kedalaman laut tanah air kita terpendam nikmat Ilahi. Kesemua itu harus disyukuri tidak boleh dikufuri – dalam arti, tidak boleh ditutup-tutupi. Ia harus diolah sehingga nampak bagi semua orang dan dinikmati oleh semua warga masyarakat. Kekufuran yang dilakukan penduduk negeri diceritakan di atas aalah karena mereka tidak mengolah kekayaan alamnya. Karena itu, akibat yang menimpa mereka adalah kelaparan dan ketakutan.
Makna “tidak menjadi kafir” – dalam kaitannya dengan kemerdekaan – adalah mengolah dan mengembangkan setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi dan setiap tetes air yang terdapat di samudera, sehingga dengan demikian kita tidak menutup-nutupi nikmat Allah itu. Keluhan akan keterbatasan nikmat dan kesempitan hidup merupakan kekufuran kepada Allah selama di dalam perut bumi dan dasar lautan masih terdapat potensi yang belum nampak ke permukaan.
Kalau makna kekufuran, antara lain, seperti itu yang dimaksud oleh Al-Quran maka tidak keliru jika dikatakan bahwa di kalangan ummat Islam pun tidak sedikit yang kafir, walaupun ia mempercayai kebenaran Al-Quran, mendirikan shalat dan berpuasa sekalipun.[]
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 140-142
Tidak ada komentar:
Posting Komentar