Adab atau etika pada dasarnya bermakna "keadilan dan menempatkan sesuatu pada tempat yang wajar". Tidak adil atau tidak beradab jika Anda menghormati orangtua sama dengan penghormatan kepada teman sejawat, demikian pula sebaliknya. Pendeknya, mengurangi atau melebihkan dari yang semestinya adalah tidak beradab. Kalau arti adab seperti itu dijadikan tolok ukur sikap terhadap Nabi Muhammad saw. dan uraian maulid, maka agaknya tidak sedikit kaum Muslim yang kurang beradab kepada beliau.
Setiap Muslim tentu hormat dan kagum kepada Nabinya. Bukan saja ketika memandang beliau dari kacamata manusia, seperti yang dilakukan oleh banyak pakar non-Muslim yang objektif, tetapi lebih-lebih ketika memandang beliau dengan kacamata agamanya. Di sini sang Muslim akan menjadikan Al-Quran sebagai rujukan dalam sikapnya.
Beliau memang manusia seperti kita juga dalam struktur, fungsi fisik, dan nalurinya. Tetapi sifat kemanusiaan Rasul saw. mencapai kesempurnaan, apalagi beliau mendapat wahyu dari Allah SWT. Karena itulah Allah berpesan: Jangan jadikan panggilanmu terhadap Rasul sama dengan panggilan sebagian kamu dengan sebagian yang lain (QS 24: 63).
Allah sendiri menunjuk atau memanggil manusia mulia ini dengan gelar terhormat seperti "wahai Nabi" atau "wahai Rasul". Hanya satu ayat yang menyebut namanya tanpa diiringi gelar kehormatan. Bagaimanakah cara kita menyebut nama beliau? Kurang dari apakah yang telah dicontohkan Al-Quran? Ternyata, jawabannya adalah kurang beradab. Di sisi lain, kekaguman tidak jarang mengantarkan kita kepada sikap tidak adil, baik terhadap yang dikagumi atau yang berkaitan dengannya. Banyak contoh yang dapat diberikan.
Banyak ulama, apalagi orang awam, yang berusaha sekuat kemampuannya untuk menguraikan keajaiban-keajaiban yang terjadi menjelang atau saat kelahiran Nabi. Tidak jarang khatib maupun muballigh yang menggambarkan kondisi sosial yang dihadapi Nabi saw. dengan gambaran yang keliru dan ini didorong oleh hasrat membuktikan keagungan manusia yang mulia ini. Semua itu bukanlah sikap yang beradab terhadap beliau.
Ketika Nabi lahir, berguncang singgasana kaisar, berjatuhan berhala-berhala, padamlah api yang disembah bangsa Persia.
Keajaiban-keajaiban ini – kalau pun benar – memang luar biasa, tetapi ia tidak menambah kepercayaan orang yang beriman. Di sisi lain, pada saat kelahiran Nabi banyak ibu melahirkan dan ketika itu bisa saja masing-masing berkata bahwa keajaiban itu karena kelahiran anaknya.
Beliau lahir dalam keadaan bercelak mata, putus tali pusarnya, telah dikhitan bahkan dapat melihat dari pundaknya.
Benar, beliau manusia istimewa, baik secara fisik maupun psikis. Tetapi melukiskan seperti itu menjadikan beliau tidak seperti manusia lagi.
Nabi diutus di Makkah karena masyarakatnya yang paling bejat, mereka menyembah berhala, mengubur hidup-hidup anak perempuan, dan melakukan segala macam kejahatan. Kemudian dibentuknya masyarakat harmonis, tidak mengenal dosa, dan generasi terbaik umat manusia.
Pernyataan di atas tidak adil dan tidak beradab, baik terhadap Nabi saw. maupun terhadap masyarakatnya. Mengubur hidup-hidup anak perempuan tidak dikenal secara umum dalam masyarakat waktu itu. Hanya dua atau tiga suku yang melakukannya. "Kalau kita tidak menjadikan orang-orang Prancis yang bodoh dan hidup di pedesaan mewakili peradaban dan kebudayaan Prancis, maka tidak wajar menjadikan dua atau tiga suku yang mewakili masyarakatnya (Muhammad saw.)" demikian tulis mantan Syaikh Al-Azhar, Prof. Dr. Abdul Halim Mahmud.
Bahwa beliau diutus dari Makkah karena masyarakatnya yang paling bejat adalah pendapat yang tidak didukung hasil pemikiran yang jernih dan hal ini perlu kita kaji secara lebih mendalam. Karena saya khawatir ucapan tersebut kurang adil dan kurang hormat terhadap yang mengutus beliau. Wallâhu a'lam.[]
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 422-425.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar