"Kumandangkanlah panggilan kepada manusia untuk melaksanakan haji," demikian perintah Tuhan kepada Nabi Ibrahim a.s. sebagaimana disebutkan dalam surah Al Hajj ayat 27.
"Suaraku tidak akan dapat terdengar oleh mereka Ya Allah."
"Yang penting serukan panggilan itu, Kami akan memperdengarkannya "
Demikian dialog antara, Tuhan dengan Nabi Ibrahim a.s. yang ditemukan riwayatnya dalam berbagai kitab tafsir.
Mahabenar Allah, tidak seorang manusia (Muslim) pun yang tidak pernah mendengar adanya panggilan itu. Tidak seorang manusia (Muslim) pun yang tidak mengetahui adanya kewajiban memperkenanan panggilan itu. Ibadah haji sudah demikian populer di kalangan umat sehingga ia termasuk dalam kategori apa yang dinamai ma'lumun min al-din bi al-dharurah (pengetahuan pada tingkat aksioma) sehingga tidak ada alasan yang dapat dikemukakan untuk berkata: "Saya tidak tahu." Demikianlah Tuhan menepati janji-Nya.
Semua orang telah mendapatkan panggilan, meskipun beraneka ragam sikap manusia menghadapi panggilan tersebut. Ada yang ingin memenuhinya, mampu serta kemudian melaksanakannya; ada yang ingin dan mampu, tapi ada aral yang melintang sehingga maksudnya tidak tercapai; ada juga yang mampu, kesempatan baginya terbentang, tetapi hatinya tidak tergerak, langkahnya justru menjauh. Sebaliknya, tidak sedikit pula yang berkeinginan tetapi apa daya tangannya tak sampai.
Amat teliti redaksi ayat Al-Quran tentang ihwal haji ini dan lagi Mahabijaksana Tuhan dalam petunjuk-Nya. Lillahi 'ala al-nasi hijju al-bait... (mengerjakan haji adalah kewajiban manusia...), demikian bunyi penggalan ayat 97 surah Ali Imran yang, antara lain, mengisyaratkan bahwa semua manusia telah mendapat panggilan dan semua dituntut memenuhinya. Nah, bagaimana dengan yang ingin tetapi ada halangan, atau daya dan dana tidak memenuhi syarat? Lanjutan penggalan ayat di atas menunjukkan betapa bijaksannya Tuhan: Bagi yang sanggup mengadakan perjalanan ke sana. Ini berarti bahwa Tuhan memaafkan mereka. Tuhan memaklumi mereka.
Bagaimana dengan yang mampu daya dan dana, tak ada pula aral yang melintang? Apakah wajar mereka berdalih menutupi keengganannya: "Saya belum mendapat panggilan?" Demi Tuhan, saya khawatir ia memperoleh murka berganda: pertama karena keengganannya memperkenankan panggilan dan yang kedua karena dalihnya mengingkari sampainya panggilan itu kepadanya.
Bagi yang melaksanakan ibadah haji, kita yakin, pasti Tuhan menyambut mereka selama kehadirannya ke sana lillah (menurut bahasa ayat di atas), yakni bertujuan memenuhi panggilan-Nya dan selama ia mengucapakan, "Labbaika Allhumma labbaik" (kuperkenankan panggilan-Mu Ya Allah kuperkekenankan panggilan-Mu), tidak bertentangan dengan niat, sikap dan tingkah lakunya. Karena jika bertentangan, Tuhan akan menyambutnya dengan berfirman: "Engkau berbohong, engkau datang dengan maksud dan tujuan lain."
Untuk itu kita patut mengucapkan selamat jalan kepada setiap jamaah yang akan menunaikan ibadah haji, dan kita menyampaikan pesan dini agama: "Luruskan niat! Kalau tak dapat sejak terbetik keinginan, maka sejak melangkahkan kaki Anda untuk menunaikan haji. Dan kalau ini pun tidak, maka paling lambat pada saat mengenakan pakaian ihram." Itulah anak tangga pertama mendapatkan kedudukan sebagai tamu Allah. Memperoleh kehormatan berada di hadirat-Nya dan membawa kembali izin melanjutkan perjalanan menuju ridha-Nya. "Haji yang mabrur tidak ada ganjarannya kecuali surga, " demikian janji Nabi saw.[]
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 197-199.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar