Hidup bermasyarakat dapat diibaratkan dengan lalulintas, di mana masing-masing pribadi berkeinginan sampai ke tujuan dengan cepat dan selamat. Karena itu, demi keselamatan perjalanan diperlukan adanya peraturan lalulintas. Namun peraturan ini harus ditetapkan oleh yang paling mengetahui sifat sekaligus kebutuhan siapa yang akan dikenakan atasnya peraturan itu. Sebab, bila tidak, peraturan akan sulit ditaati. Sementara itu, di sisi lain, yang menetapkan peraturan haruslah yang tidak terlibat atau memiliki kepentingan dalam hal tersebut.
Dalam rangka peraturan lalulintas kehidupan, Tuhan menetapkan peraturan-peraturan. Karena Dia-lah yang paling mengenal manusia, sekaligus Dia tidak memiliki kepentingan. Karena itu, agama didefinisikan, antara lain, sebagai "peraturan-peraturan Ilahi yang mengantarkan manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat".
Kata "agama" oleh sementara pakar diduga berarti "jalan". Terlepas dari benar-tidaknya pendapat ini, yang pasti Al-Quran, hadis, dan para pakar, hampir selalu menggunakan kata-kata yang mengacu kepada arti jalan bagi peraturan dan petunjuk-petunjuk keagamaan.
Perhatikan, misalnya, kata syari'ah (jalan menuju sumber air), mazhab (tempat berjalan), shirath al-mustaqim (jalan yang luas lagi lurus), sabilillah (jalan Tuhan), dan lain sebagainya.
Mungkin juga ada yang bertanya, "Bagaimana tuntunan-tuntunan agama dinamai 'jalan yang luas lagi lurus', sedangkan agama menetapkan batas-batas yang tidak dapat dilanggar, sehingga dirasakan sebagai mengikat dan mempersempit gerak manusia?"
"Paham yang memberi kebebasan kepada manusia untuk melakukan apa saja adalah jalan yang bebas hambatan," kata yang mengabaikan agama. Mereka pada hakikatnya sangat keliru. Peraturan dan petunjuk agama ibarat lampu lalulintas dan rambu jalan. Apakah keduanya menjadi penyebab sempitnya jalan atau terhambatnya lalulintas? Tidak seorang pun berpendapat demikian. Bukankah kita semua mengalami kemacetan pada saat lampu-lampu tersebut tidak berfungsi?
Kalau demikian, setiap orang harus pula menyadari betapa pentingnya rambu-rambu kehidupan, dan betapa agama mengatur manusia menelusuri jalan dengan aman dan sentosa hingga sampai ke tujuan.
Memang diakui bahwa sebelum memasuki al-shirath al-mustaqim ada saja hambatan dan kesulitan yang dihadapi. Namun, setelah berjalan beberapa saat, pasti yang ditemui dan dirasakan adalah kemudahan dan kenyamanan.
Ini bukan berarti Tuhan tidak pernah meninjau ketetapan-Nya. Sekali lagi tidak! Dia mengubahnya pada saat peraturan tersebut tidak sesuai dengan kemaslahatan manusia. Itulah sebabnya Rasul silih berganti diutus-Nya, dan Rasul terakhir diberi-Nya ajaran yang bersifat global agar perincian peraturan dapat ditetapkan oleh manusia berdasarkan kepentingan mereka, sekaligus sejalan dengan petunjuk global tersebut.[]
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 128-130
Tidak ada komentar:
Posting Komentar