Sebagai sebuah paradigma, progresivitas Islam tetap bagian dari varian tafsir Islam. Mengingat tantangan umat tidak pernah selesai, maka tafsir Islam untuk solusi umat juga tidak pernah mengenal tamat. Tidak mesti harus tafsir yang benar-benar baru seutuhnya, tetapi lebih penting sejauh mana relevansi gagasan tafsir tersebut memenuhi tuntutan realitas. Dalam hal ini, apa yang disuguhkan Islam Progresif membangkitkan kembali nafas perjuangan yang sama, misalnya, dengan gagasan pemikir Mesir, Hassan Hanafi, melalui Yasâr al-Islâm (Kiri Islam).
Di buku Min al-Aqîdah ilâ al-Tsaurah (Dari Akidah menuju Revolusi), Hanafi berapi-api memberi pengantar, bahwa era pemujaan terhadap teologi sudah semestinya digeser ke perjuangan membela umat .Ideologi Kiri Islam memosisikan diri di barisan yang melawan ketidakadilan. Teologi sudah selesai memuji Tuhan, yang diharapkan kini adalah revolusi terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang tidak berpihak pada umat (Hanafi, 1988: 12). Buku Hanafi menyediakan basis gagasan revolusi yang dibangunan di atas Ilmu Kalam atau Ushuluddin.
Corak keberagamaan dapat berubah menyesuaikan tantangan yang dihadapi. Persis yang singgung Hanafi di atas, tantangan penindasan dan kondisi umat yang terus dijadikan obyek pemiskinan perlu digugat oleh teologi Islam. Tidak ada yang patut dipermasalahkan dari sudut pandang Islam Progresif sebagai sebuah tafsir yang ingin merevitalisasi Islam untuk membangkitkan perlawanan melawan kaum penindas. Justru upaya menghidupkan semangat progresivitas Islam itu harus didukung melihat kondisi penindasan umat semakin memprihatinkan.
Para pembaca sudah mengetahui dengan pasti para petani di Kendeng, Rembang, tengah berjuang melawan hegemoni pemilik modal yang disokong penguasa. Tidak banyak yang peduli soal perjuangan petani sebagaimana pedulinya umat terhadap aksi damai bela Al-Maidah 51 beberapa waktu lalu, yang berhasil menyita perhatian nasional bahkan internasional. Selain di Kendeng, masih banyak kaum cilik (mayoritas umat Islam) di pelosok negeri ini yang mengalami kasus serupa atau bahkan kasus lain yang lebih parah. Para petani yang hidupnya pas-pasan karena hasil panen tidak mencukupi, atau barangkali karena harga jual yang begitu murah sebab permainan harga, sudah semestinya disejahterakan pemerintah. Alih-alih meningkatkan taraf hidup petani, lahan penghidupan mereka malah diserobot.
Fokus tulisan ini meninjau bagaimana mendudukan wacana Islam Progresif di tengah wacana keislaman yang pernah tumbuh di Indonesia belakangan ini, sejauh mana revelansi paradigma keberagamaan Islam Progresif dalam menyelesaikan persoalan penindasan, dan seberapa yakin kita bahwa Islam itu membela kaum papa. Pada fokus yang terakhir, menarik menyertakan gagasan Hussein Murwah (1910-1987) yang menulis sejarah peradaban Islam dari sudut pandang materialis dengan tujuan mendapatkan landasan penguat bagi perjuangan Islam Progresif.
***
Dalam percaturan pemikiran Islam di Indonesia, spektrum wacana pemikiran Islam lahir memenuhi tuntutan yang muncul di masanya. Jika kita mundur pada tahun 70-an, diskusi pemikiran Islam pernah menyita perhatian lewat gerakan pembaruan pemikiran Islam yang dipelopori Nurcholish Madjid. Pembaruan itu muncul sebagai respon Islam atas gagasan modernisasi, tepatnya ide kemajuan pemerintahan Orde Baru. Salah satu orientasi kaum modernis Muslim ialah berusaha menghadirkan Islam dan memberi isi serta peranannya di tengah masyarakat yang sedang berubah (Munawar-Rachman, 2007: 16).
Dimulai dari ceramah Nurcholish dalam acara silaturahim HMI pada 2 Januari 1970 di Gedung Pertemuan Islamic Research Center di Jalan Menteng Raya, Jakarta, yang berjudul Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat. Ceramah itu menuai berbagai respon, sebagian memuji idenya segar dan sebagian lain mengecamnya sebagai bentuk penyesatan dengan bahasa ilmiah. Nurcholish yang dijuluki oleh Tempo sebagai “Penarik Gerbong Pembaruan Islam” berpandangan, umat Islam perlu merumuskan pola pandang dengan visi yang sesuai kemodernan. Ia pun paham tawarannya tidak akan mudah diterima khalayak ramai, hal itu karena pembaruan akan dibenturkan dengan nilai-nilai tradisional yang sudah mapan dan telah dianggap benar.
Dalam ceramahnya, Nurcholish mengajak umat Islam untuk melihat kemandekan-kemandekan berpikir dan kreativitas yang tertahan oleh berbagai bentuk kejumudan. Oleh karena itu, Nurcholish menyarankan perlunya kebebasan berpikir, idea of progress, sikap terbuka, dan kelompok pembaruan yang liberal, yang nantinya kelompok tersebut dapat menumbuhkan psychological striking force atau daya tonjok psikologis yang menumbuhkan pemikiran-pemikiran segar (Munawar-Rachman, 2007: 9).
Tahun berlalu, pemikiran Islam berganti generasi. Kelahiran Jaringan Islam Liberal (JIL) pada sekitar tahun 2001-an dapat diandaikan generasi yang tersambung (secara ide) dengan gagasan pembaruan tahun 70-an. Meski kehadiran JIL dengan fokus yang kurang lebih sama tetapi secara kualitas sedikit berbeda dengan pendahulunya. Bagaimanapun, figur sentral Nurcholish dengan institusi Paramadina-nya menjadikan fokus pembaruan Islam jauh lebih jelas dan sistematis daripada yang ditampilkan generasi 2001-an. Gagasan tentang keislaman dan keindonesiaan, atau gagasan pluralisme Islam Nurcholish, misalnya, sampai hari ini masih terus diminati dan melahirkan anak ideologis.
Kendatipun tidak seutuhnya dapat disamakan dengan generasi pendahulunya, gagasan-gagasan liberalisasi yang diusung JIL tidak dapat dipungkiri merupakan respon dari situasi hingar-bingar Reformasi, di mana ide-ide keterbukaan semakin bebas dan tampil sebebas-bebasnya setelah sebelumnya dibatasi. Atas dasar kebebasan, wacana kelompok liberal pun mengguncang karena tidak sungkan mempertanyaan gagasan keagamaan yang dianggap tsawâbit (fundamental) di kalangan awam. Itu justru membuat pamor pembaruan pemikiran Islam dipandang miring dan melahirkan resistensi di kalangan sebagian umat Islam. Gagasan pembaharuan pemikiran Islam tidak mengena pada substansi dan penerimaan oleh umat. Justru, yang didapat malah kontroversi.
***
Sketsa di atas mengambarkan perjalanan gagasan pembaruan Islam yang pada akhirnya tidak mampu disalurkan (dikomunikasikan) dengan baik oleh kelompok liberal. Sebagai gantinya, umat justru rindu akan gerakan pemikiran yang tidak macem-macem lagi terhadap agama. Dalam situasi seperti ini, tampilnya warna pergerakan Islam yang mengambil sikap yang bertentangan dengan gagasan liberal mulai diminati. Sementara pemikiran liberalisme Islam masih belum sepenuhnya menggugah kesadaran karena yang mengemuka “hanya” gagasan kontroversi, kelompok yang menjadi rival dari gerakan liberalisme, yang sebenarnya berkutat pada isu-isu superfisial dan perjuangan agama sebatas simbol, justru mulai memperkuat barisan.
Hal itu terlihat secara kasat mata dengan isu yang berkembang terakhir ini, dimana gerakan Islam yang cukup “menekan”, yang sebelumnya distigmakan tindak di tempat dan aktif dengan gerakan sapu-sapu (alias sweeping) ternyata sudah mampu tertib dan berhasil mengorganisir diri dengan baik. Pengorganisasian itu tidak hanya untuk intern komunitas tetapi merambah komunitas lain yang turut simpati. Transformasi ini menjadi petanda bahwa mereka sudah lebih baik dari sebelumnya, meski agenda-agendanya masih di tataran permukaan.
Gambaran itu setidaknya mengingatkan kita bahwa ada metamorfasa yang terus berkembang, sekaligus menegaskan kepada kita bahwa tidak ada kelompok keagamaan yang statis. Dalam peristiwa aksi damai yang digelar dua tahap di bulan November (411) dan Desember (212) kemarin, gerakan Islam yang cukup “menekan” menunjukkan contoh berdemonstrasi secara tertib. Apa pasal gerakan yang menamakan diri aksi damai itu menjadi populis dan meraih hati simpatisan Muslim?
Setidaknya terdapat dua faktor yang menyebabkan gerakan itu diminati. Pertama, kelompok Islam yang “menekan” itu berhasil mengubah pemikiran tentang agenda yang diperjuangkan menjadi sebuah keyakinan (dari pemikiran menjadi keyakinan). Kedua, tersedianya modal yang digelontorkan para donatur demi memudahkan terselenggaranya aksi itu secara manusiawi, seperti akomodasi dan transportasi. Salah seorang kawan dari Balikpapan bercerita, donatur di daerahnya menyediakan 10 pesawat yang siap mengangkut umat Islam berangkat ke Jakarta.
Tetapi yang disayangkan dari agenda kemarin adalah soal kualitas isu yang diperjuangkan. Paradigma keberagamaan yang ditampilkan dalam aksi damai masih dalam level simbol. Artinya bahwa agama dipahami sebagai simbol semata. Ketika simbol agama dicederai, maka mudah sekali memantik respon, apalagi peminat Islam simbol di Indonesia itu begitu besar. Meski agenda aksi damai dan doa bersama kemarin diperhalus dengan perjuangan menolak penistaan agama (tidak hanya untuk kasus Islam tapi semua agama), menjaga kebhinekaan, Indonesia bersatu, dll, nyatanya tidak mampu menutupi manifestasi dari perjuangan bernuansa agama (simbolik).
Menurut Hodgson, pengamalan keagamaan yang dikembangkan oleh penganut suatu agama selalu mengambil tiga paradigma populer yang telah mewarnai perkembangan perjalanan agama: Pertama, paradigm-tracing yang menitikberatkan pada ritus-ritus ibadah atau simbol agama seperti shalat, puasa, haji dan ibadah lain; Kedua, paradigma kerygmatic yang memahami agama sebagai penentu moral bagi kemajuan sejarah umat seperti ditunjukan pada hukum-hukum fikih atau muatan hadits-hadits Nabi yang diberlakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah; Ketiga, paradigma mistisisme yang berfokus pada subjective inward awarenesess, tujuannya semata menggali “kejernihan” dari dalam batin manusia (Hodgson, 1974: 363). Paradigma simbol atau tracing-paradigm merupakan paradigma yang terendah yang kebanyakan dianut khalayak ramai.
Di atas adalah otokritik bagi pergerakan Islam di Indonesia. Otokritik itu sama sekali tidak mengurangi rasa simpati terhadap pergerakan yang saudara-saudara kita lakukan beberapa waktu lalu, dan itu berhasil menjadi contoh tentang Islam yang tertib, setidaknya untuk aksi turun ke jalan. Apa yang perlu kita tekankan adalah, bahwa pergerakan Islam dan pemikiran Islam selalu berkembang menyesuaikan tantangan yang ada. Seberapa tajam dan jeli memilih tantangan tentu saja tergantung pada ideologi pelaku dan minat pasar.
****
Rasanya apa yang ditampilkan kelompok Islam yang cukup “menekan”, tidak mengakomodir keresahan umat di kelas bawah. Isu-isu kurang substansial yang disuarakan, masih berkutat di persoalan partikular agama, di antaranya hanya mengurusi: larangan memilih pemimpin non muslim, dan isu-isu santer lain yang terkait dengan simbol agama, termasuk penistaan Al-Maidah 51 (sebetulnya kasus penistaan masih debatable). Kesadaran Islam Progresif yang hari ini hadir tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan menyelesaikan tantangan yang sesungguhnya prinsipil tapi kurang disuarakan intelektual Islam; persoalan yang tidak ter-cover oleh kalangan intelektual Muslim liberal serta kurang menjadi perhatian kelompok Islam yang cukup “menekan.”
Islam dari awal sejarahnya memiliki misi politik, kedatangannya untuk mengubah tatanan masyarakat dari semula tidak bermoral menjadi bermoral. Sesuai dengan misi Nabi diutus: Sesungguhnya aku diutus semata-mata untuk menyempurnakan akhlaq (HR. Bukhari). Misi itu sangat beralasan, melihat keadaaan sosial ekonomi di masa Nabi, di mana telah terjadi praktik pemasungan kesejahteraan. Sendi-sendi kehidupan sosial politik mengalami pelapukan sejurus dengan tidak adanya kesejahteraan ekonomi.
Sejatinya persoalan mendasar dari praktik yang dominan di Suku Quraisy, yang direformasi Nabi ialah soal ketimpangan sosial. Makkah waktu itu menjadi pusat perputaran roda perekonomian yang besar. Karena begitu banyaknya para kafilah dagang dari Yaman, Syiria, Romawi dan Persia yang datang, terlebih ketika musim haji, kaum Quraisy yang menguasai perekonomian menjelma sebagai aristokrasi lalim. Sebagian Suku Quraisy ketika itu, memainkan dominasi satu pihak dan menyingkirkan saingan-saingannya.
Kelompok yang merasakan langsung praktik penindasan itu adalah pihak yang tidak termasuk dalam afiliasi Quraisy, yang umumnya adalah para pedagang kecil, terlebih yang bukan dari penduduk Makkah. Kelompok ini tidak diberi kesempatan dalam persaingan dagang. Mereka diizinkan untuk ikut serta dalam kelompok dagang Quraisy dengan dana pinjaman. Namun bukan bertujuan untuk menolong, melainkan dengan niat menindas, uang pinjaman harus dikembalikan dengan lipatan besar (riba). Tidak cukup sampai di situ, Quraisy pun tidak segan memeras iuaran dari pedagang-pedagang kecil (kaki lima, dalam istilah hari ini). Kerakusan menumpuk kekayaan yang didapat secara tidak sah merupakan potret kehidupan pincang yang sengaja dilanggengkan kaum Quraisy selaku kelompok yang berkuasa.
Islam menolak penindasan yang sengaja dilanggengkan kaum Quraish Makkah. Meski tidak secara matang adanya keterangan kelas pada masyarakat Makkah sebagaimana dipahami dalam pemahaman Marxisme, tetapi kenyataannya di Makkah terdapat dua kelas: kelas pertama yang terdiri dari lapisan orang kaya yang menguasai perdagangan, pasar, dan teknis pelaksanaan haji, yang mendapatkan banyak keuntungan; kelas kedua yang didominasi orang-orang miskin (fakir) atau para pekerja yang tak jarang mendapat intimidasi dan ketidakadilan.
Terhadap dakwah Islam yang dibawa Nabi Muhammad, kelompok pertama menolak dengan keras, sedang kelompok kedua menerimanya dengan lapang dada karena Islam membebaskan mereka dari praktek dominasi dan pemerasan dari sistem yang sengaja diciptakan dan dilanggengkan oleh Quraisy. Mudah dimengerti kenapa Nabi sejak awal mencela orang yang menumpuk harta, memakan harta anak yatim, orang miskin, melanggengkan praktik riba dan praktik lain yang melahirkan ketimpangan sosial, ekonomi dan politik.
Kaum Quraisy mendapati dakwah Nabi sebagai bentuk goncangan yang merongrong kepentingan mereka. Apabila dakwah Islam berhasil, dua kekhawatiran yang ditakutkan kaum Quraisy terpampang di depan mata: pertama, Islam akan menghancurkan tradisi pagan di Ka’bah yang secara langsung memutus pendapatan kaum Quraish, karena Ka’bah menjadi pusat ibadah haji yang menarik banyak pendatang (berhaji) untuk berdagang; kedua, Islam akan memutus dan menghancurkan dominasi ekonomi-politik kaum Quraisy secara total (Murwah, 2008: 383).
*****
Islam Progresif telah menentukan sikapnya membela masyarakat tertindas. Ada beberapa keterangan dalam sejarah Islam yang dapat menyinari agenda Islam Progresif. Pandangan pemikir Marxis Muslim asal Lebanon, Hussein Murwah, dalam al-Naz’ât al-Mâdiyyah fi al-Falsafah al-Islâmmiyyah (Tendensi Materialisme dalam Filsafat Islam) menarik disajikan di sini. Pandangan Murwah dapat dijadikan landasan normatif bagi penguatan Islam Progresif.
Terkait tujuan Islam yang hendak mereformasi tatanan masyarakat, Murwah menekankan perhatiannya terhadap dua terma penting yang mendominasi Islam fase Makkah, yaitu tentang seruan Tauhid dan Hari Akhir yang sejatinya menjadi tema yang sering disinggung ayat-ayat Makkiyah atau yang turun di masa Nabi belum hijrah ke Madinah. Meskipun secara sekilas, dua konsep itu berangkat dari hal yang sangat ideasional, namun, dalam pandangan Murwah keduanya dapat dipahami dalam tinjauan yang materialis.
Pembacaan Tauhid dapat dimaknai dalam dimensi sosial. Ketika Islam datang, pertentangan kelas berlangsung begitu tajam dan timpang, segera Islam memberi solusi bagi problem tersebut. Tauhid tidak hanya dipahami sebatas percaya kepada Allah swt. an sich. Akan tetapi, Tauhid juga mampu dikupas dalam dimensi sosial untuk mereformasi tatanan masyarakat. Jika di zaman Jahiliyah masyarakat membanggakan diri pada aspek klan (prestige pada klan), maka setelah kedatangan Islam, nilai seseorang tidak lagi dipersempit berdasar pada afiliasi klan tersebut. Kesaksian yang sama diungkapkan Hodgson, bahwa Nabi Muhammad memperluas kesadaran masyarakat Makkah dari yang semula direduksi sebatas tribesman diarahkan menuju kebebasan manusia seutuhnya human being (Hodgson, 1974).
Fenomena kehidupan sosial yang penuh perpecahan yang dialami masyarakat Jahiliyah waktu itu, hendak disatukan demi kehidupan sosial lebih baik. Tauhid perlu dipahami dalam dua aspek sekaligus. Sebagai kekuatan materialistik yang mampu mengubah realita yang membelenggu, di satu sisi, dan sebagai kesadaran yang merupakan perwujudan sebuah akidah atau keyakinan, di sisi lain (Murwah, 2008: 385). Itulah mengapa di dalam Al-Qur’an ditegaskan perintah Tauhid dibarengi dengan perintah persatuan:
Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu, tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya (QS. Al-Syûra [42]: 13).
Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang serta bersabarlah. Sungguh, Allah beserta orang-orang sabar (QS. Al-Anfâl [8]: 46).
Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai (QS. Âli Imrân [3]: 103). Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas (QS. Âli Imrân [3]: 105).
Sama seperti Tauhid di atas, terma Hari Akhir yang juga disebut sebagai Hari Agama (yaum al-dîn) bukan persoalan metafisis yang harus diimani kedatangannya setelah kehidupan dunia berakhir. Hari Akhir memiliki kaitan logis dan materialis terkait keberadaan manusia dengan realita yang mengitarinya. Analisis materialis Murwah, Hari Akhir yang dipahami sebagai puncak penghakiman manusia atas amal perbuatannya selama hidup di dunia, kebaikan akan diberi balasan surga sedang keburukan akan ditimpa siksa pedih di neraka, kehilangan dimensi sosialnya.
Bagi Murwah, janji surga untuk kebaikan dan ancaman neraka untuk keburukan, tidak materialis karena itu tidak mengubah realitas. Murwah mengkritisi bahwa fase Makkah belum bergerak ke tahap materialis karena tidak mengatasi dua hal: pertama, tidak menyinggung kaum lemah dan tertindas; kedua, tidak menolak perilaku kesewang-wenangan dan menindas yang dilakukan Quraisy (Murwah, 2008:387). Itulah yang kemudian membuat para aristokrat Quraisy semakin keji menindas. Terhadap pandangan Murwah itu, kita mudah memahami, bahwa Murwah sedang membangkitkan perlawanan, padahal menurut common sense kita, perlawanan itu belum terwujud pada waktu itu karena umat Islam masih minoritas.
Dakwah Nabi tiga belas tahun di Makkah dalam pandangan Murwah (terkait Hari Akhir) dipahami sebagai pemahaman metafisis dan belum praksis, karena itu umat Islam tidak melawan terhadap penindasan tetapi lebih memilih hijrah ke Yastrib. Di dalam pesan dakwah, umat Islam tidak menemukan pandangan yang dapat mengubah keadaan dan menyelamatkan dari praktik-praktik penindasan (Murwah, 2008: 388).
Lebih dari itu, ditegaskan pula bahwa kaum Quraisy dihadapkan pada ancaman kehilangan dominasi dan kekuasaannya, baik secara politik, ekonomi dan aspek keagamaan, bila dakwah Islam dibiarkan berkembang tanpa dihalangi. Murwah dalam hal ini menepis pandangan penulis sejarah Islam yang menilai bahwa alasan kaum Quraisy menolak dakwah Nabi Muhammad sebab mereka tidak mengenal sebelumnya apa yang didakwahkan Nabi, seperti konsep Hari Akhir. Pengandaian yang dipilih oleh Murwah adalah aspek materialistis, penolakan dakwah itu dipicu ketakutan kaum Quraisy terhadap hilangnya kekuasaan kontrol kekuasaan di Makkah yang merupakan sumber primer penghidupannya (Murwah, 2008: 390).
Dalam upaya menyejahterahkan masyarakat, Allah swt. telah mengingatkan bahwa kekayaan tidak boleh berputar di kalangan orang-orang kaya saja (QS. Al-Hashr [59]: 7). Kendati konteks ayat itu turun untuk harta rampasan perang, namun pesan ayat tersebut dapat dipahami sebagai gambaran ideal tentang kebijakan ekonomi Islam (Fazlur-Rahman, 1980: 28). Ayat tersebut menunjukkan bahwa, Islam menyerukan pemerataan ekonomi sekaligus menggarisbawahi bahwa dominasi ekonomi oleh satu kelas tertentu di sebuah negara tidak sesuai dengan nilai Ketuhanan dan keagamaan, apalagi jika disertai dengan kekerasan untuk menindas.
Kemunculan Islam menandakan berakhirnya kesadaran kabilah yang diwarnai perpecahan dan praktik penindasan klan terkuat terhadap kelas lebih rendah. Dalam diri Islam tersemat progresivitas karena sesuai dengan misinya menyingkirkan ketimpangan-ketimpangan yang menjegal perwujudan masyarakat berkeadilan. Syaikh Syaltut dalam Min Taujîhât al-Islâm menggarisbawahi bahwa Islam begitu peduli terhadap terciptanya tatanan masyarakat adil. Ruh dari syariat Islam ialah semangat keadilan itu sendiri. Dikatakan oleh Syaikh Syaltut bahwa keadilan yang ditegakkan Islam merupakan modal dasar reformasi kehidupan sosial di masyarakat (2004: 450).
******
Setelah penjelasan di atas, diharapkan blueprint Islam Progresif semakin terang dipahami dan mendapat penguat yang memungkinkan arah perjuangan pergerakannya bertambah solid dan mantap.
Rasanya tidak harus berhenti di level intrepertasi saja. Jika yang diandaikan dari Islam Progresif menggugah kesadaran, maka cukup dengan melihat sejarah Islam dari sudut pandang materialis dan memberi sentuhan tafsir yang dramatis terhadap kritisnya persoalan yang menindih umat dan lemahnya perjuangan untuk lepas dari jerat penindas yang didominasi kelas pemilik modal berkolaborasi dengan penguasa. Namun apabila ekspektasi kita terhadap Islam Progresif sebagai agen perubahan, sesuai visi diidealkan Marx sendiri yaitu changing reality, maka tidak cukup dengan pandangan materialisme saja (secara gagasan), kita butuh materialisme yang sesungguhnya.
Kita seharusnya belajar dari demo dan aksi damai yang dipelopori gerakan Islam yang cukup “menekan” kemarin:
Pertama, gagasan (modul) pemikiran Islam Progresif harus dapat diterima sebagai “keyakinan”, tentu saja agar sistem pemikiran menghasilkan efek keyakinan, perlu dicarikan penguat dari dalil-dalil normatif agama; dalam hal ini usaha Hanafi melalui gagasan Yasâr al-Islâm yang menyerukan bahwa revolusi berasal dari bangunan akidah (Ilmu Ushuluddin) sungguh sangat beralasan; bahwa spirit perjuangan itu memiliki daya gedor yang besar apabila dibangkitkan melalui dasar keyakinan (agama). Selain itu juga tidak kalah penting melihat kembali serta melakukan penafsiran ulang sejarah Nabi dalam sinaran materialis agar didapati gambaran terang siapa penindas dan siapa yang ditindas dari praktik masyarakat Makkah ketika Nabi diutus.
Kedua, tindakan disertai dengan kekuatan materi sebenarnya (modal). Tidak dapat dipungkiri Islam di dalam sejarahnya membutuhkan kekuatan materi untuk dapat menguasai dua kekuasaan Adidaya di zamannya (Romawi dan Persia). Seandainya Islam tidak mampu menaklukkan (membebaskan) dua negara superpower itu, niscaya Islam tidak dapat tersebar luas sampai hari ini. Islam telah memberikan contoh terkait upaya untuk “mengubah” dan itu dipraktikkan dengan modal kekuatan besar. Terkait penguatan modal ini, dapatlah merujuk pada sebuah hadist awal Islam disebarkan di Makkah, yang mengandaikan bahwa Islam memiliki agenda politik untuk “mengubah.” Hadits itu juga akan memberikan pemahaman bahwa materialisme diperlukan untuk menggerakkan perubahan.
Diceritakan, Afif Al-Kindi datang ke Makkah dan melihat orang shalat, lalu ia bertanya kepada Abbas Ibn Abdul Muthallib, “wahai Abbas, agama apa ini?” Abbas menjawab, “ini (agama) Muhammad keponakanku anak dari Abdullah bahwasannya ia (mendaku) Allah swt. telah mengutusnya dan kekayaan Raja (Persia) dan Kaisar (Romawi) akan ditaklukkan olehnya” (Ibn Atsîr, al-Kâmil fî al-Târîkh, 1978: 38).
Dari muatan hadits di atas Islam tidak pernah lepas dari misi politik; sepanjang tujuan politik itu untuk kebaikan suci atau kemaslahatan agama yang mulia (bukan digunakan untuk kepentingan golongan atau kelas tertentu, apalagi disertai unsur kesengajaan memeras dan menindas golongan kecil secara terus-menerus). Dalam hal ini Islam Progresif patutlah menjadi tegar dalam usahanya memperjuangkan nasib kaum cilik yang tidak kunjung mendapatkan keadilan. Bukan demi kepuasan melawan penindas atau mencari muka di depan rakyat fakir yang dibelanya, melainkan demi terciptanya gagasan ideal Islam sebagaimana diteladankan Nabi Muhammad: menuju tatanan masyarakat berkeadilan.[]
*Disampaikan dalam Diskusi Publik Matakuliah Agama & Tata Politik Departemen Politik & Pemerintahan FISIPOL UGM, “Islam Progresif: Agama dan Misi Transformasi Sosial”, 19 Desember 2016, di Selasar Gedung BE, Kampus FISIPOL UGM.
Sumber: Islam Bergerak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar