Sabtu, 06 Juni 2015

Sastra, Perempuan, Seks

Judul : Sastra, Perempuan, Seks
Penulis : Katrin Bandel
Cetakan : 2006
Tebal : 166 halaman
Ukuran : 15 x 21 cm
ISBN : 979-3684-53-4
Harga : Rp 35.000

Dalam dunia sastra Indonesia saat ini "perempuan" dan "seks" merupakan dua isu yang sangat penting "perempuan" terutama dalam arti "pengarang perempuan" dan "seks" sebagai tema karya sastra yang sedang ngetren. Begitu banyak pengarang perempuan baru bermunculan dalam beberapa tahun terakhir ini dan tidak sedikit dari mereka mendapat sambutan yang luar biasa, baik dari segi respons media, penghargaan sastra, maupun jumlah buku yang terjual. Benarkah karya mereka demikian hebat sehingga pantas dihebohkan serupa itu? Berbagai klaim muncul seputar para "pengarang perempuan baru" itu : tulisan mereka hebat, menciptakan gaya penulisan baru, mereka mendobrak tabu, terutama seputar seks dan hal itu sering dipahami sebagai semacam pembebasan perempuan bahkan sebagai feminisme.

Katrin Bandel dalam buku ini berusaha mempertanyakan klaim-klaim tersebut. Menurutnya kehebohan seputar beberapa penulis perempuan (bukan "perempuan" penulis), yang secara popular disebut sebagai "sastrawangi" itu, sangat berlebihan.

“Saya setuju dengan keprihatinan Katrin Bandel bahwa seakan-akan para penulis perempuan dengan sendirinya membongkar represi sosial yang selama ini diderita oleh perempuan. Keprihatinan itu bukan tanpa alasan. Di lingkungan akademis, misalnya, tidak jarang para mahasiswa mengangkat karya para penulis perempuan sebagai karya-karya feminis. Katrin Bandel mengingatkan bahwa yang paling penting adalah cara kita berargumentasi dalam memberikan penilaian atau pelabelan. Buku ini muncul dari rasa tidak puas Katrin atas cara para pengamat sastra di Indonesia memperlakukan sastra, terutama karya-karya sastra yang ditulis oleh pengarang perempuan.

(Dr. St. Sunardi, Ketua Prog. Pascasarjana Ilmu Religi & Budaya Univ. Sanata Dharma Yogyakarta)


Kata Pengantar


Dalam dunia sastra Indonesia saat ini, “perempuan” dan “seks” merupakan dua isu yang sangat penting: “perempuan” terutama dalam arti “pengarang perempuan” (bukan “perempuan” pengarang seperti yang disalahkaprahkan istilahnya khususnya oleh media massa Indonesia), dan “seks” sebagai tema karya sastra yang sedang ngetren. Sampai-sampai sering terdengar sindiran seperti “asal pengarangnya perempuan, apalagi perempuan muda dan cantik, pasti diterbitkan”, atau “asal berbau seks, apalagi pengarangnya perempuan, pasti laku”.

Sindiran semacam itu dapat saja kita anggap sekadar sebagai ekspresi iri hati terhadap sukses orang lain. Tapi menurut pandangan saya, tidak ada salahnya kita menanggapinya dengan sedikit lebih serius—jangan-jangan memang betul ada sesuatu yang tidak beres dalam dunia sastra Indonesia! Begitu banyak pengarang perempuan baru bermunculan dalam beberapa tahun terakhir ini, dan tidak sedikit dari mereka mendapat sambutan yang luar biasa, baik dari segi respons media, penghargaan sastra, maupun jumlah buku yang terjual. Benarkah karya mereka demikian hebat sehingga pantas dihebohkan serupa itu?

Berbagai macam klaim muncul seputar para “pengarang perempuan baru” itu: tulisan mereka hebat, mereka menciptakan gaya penulisan baru, mereka mendobrak tabu (terutama seputar seks – dan hal itu sering dipahami sebagai semacam “pembebasan perempuan”, bahkan sebagai “feminisme”). Yang ingin saya lakukan dalam esei-esei di buku ini antara lain adalah mempertanyakan klaim-klaim tersebut. Menurut pandangan saya, kehebohan seputar beberapa penulis perempuan (bukan “perempuan” penulis), yang secara populer disebut sebagai “sastrawangi” itu, sangat berlebihan. Hal itu terlihat paling menyolok pada reaksi terhadap karya Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu. Novel Saman karya Ayu Utami (1998) menjadi titik awal trend sensasi seputar pengarang perempuan yang berlangsung sampai sekarang. Saman, dengan kalimat akhirnya “Perkosalah aku” yang provokatif itu, menjadi buah bibir terutama karena “pendobrakan” dan “keterbukaan”-nya dalam hal seksualitas. Karya Djenar pun dibicarakan terutama karena “berbau seks”. Saya ragu apakah cara membicarakan seksualitas dengan menantang dan penuh sensasi yang kita temukan dalam karya kedua pengarang itu, dan beberapa rekan mereka, memang tepat disebut “pendobrakan tabu” atau bahkan “pembebasan perempuan”. Seksualitas merupakan isu penting yang dibicarakan dengan berbagai cara dalam banyak karya sastra di Indonesia maupun di negeri lain—mengapa yang diekspos dan dirayakan di Indonesia justru cuma versi sensasi ala Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu belaka?

Sensasi seputar perempuan dan seks itu menurut pengamatan saya memiliki efek yang merugikan bagi dunia sastra Indonesia. Di antara karya sastra yang terbit beberapa tahun belakangan ini, cukup banyak karya menarik yang kurang atau tidak mendapat sambutan dan penghargaan, sedang karya lain yang—paling tidak menurut penilaian saya—biasa-biasa saja malah diangkat-angkat karena sesuai dengan tren. Yang sangat saya sesalkan adalah betapa banyak di antara mereka yang memiliki pengaruh dan kekuasaan dalam dunia sastra Indonesia—organisasi dan institusi sastra, serta para “pengamat” dan “kritikus”—bukannya mencoba untuk melawan kecenderungan mencari sensasi tersebut, malah justru memilih berpartisipasi dalam penciptaan mitos dan penilaian yang tidak adil.

Banyak di antara esei dalam buku ini lahir dari rasa kecewa terhadap permainan politik sastra semacam itu. Esei tentang Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan, misalnya, saya tulis sebagai reaksi atas sebuah kritik novel itu yang ditulis oleh seorang pengamat sastra yang cukup terpandang di media massa yang, menurut pandangan saya, sangat tidak adil dan tidak tepat. Keinginan untuk memahami kondisi sastra kontemporer Indonesia beserta politik sastranya, sekaligus mengkritik berbagai bentuk ketidakadilan yang terjadi di situ, mendasari esei-esei dalam buku ini.

Seperti lazimnya sebuah kumpulan esei, kesebelas esei dalam buku ini awalnya merupakan esei-esei lepas yang sudah pernah diterbitkan di berbagai media. Mencari judul untuk kumpulan tulisan semacam ini jadinya tidak mudah: begitu banyak isu yang berbeda-beda dibahas, bagaimana cara menentukan judul yang cukup representatif? “Sastra, Perempuan, Seks” tidak saya maksudkan sebagai semacam rangkuman isi tulisan dalam buku ini. Semuanya berbicara tentang sastra, tapi banyak isu lain di luar perempuan dan seks yang saya bahas. Namun sebagai isu hangat yang sedang dihebohkan dalam dunia sastra kontemporer Indonesia, “perempuan dan seks” cukup mewakili apa yang ingin saya bicarakan dalam buku ini, yaitu politik sastra Indonesia yang penuh sensasi dan ketidakadilan.

Karya dua pengarang perempuan yang sangat dihebohkan, Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, saya kritik dalam esei “Vagina yang Haus Sperma” dan “Nayla”. Dalam esei tentang Ayu Utami, secara khusus saya membahas isu seksualitas, dan isu yang sama saya angkat juga dalam esei “Lelaki Harimau”—novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan tidak sesensasional karya Ayu Utami dalam menggambarkan seksualitas, tapi menurut pandangan saya lebih matang dan mendalam. Esei “Religiusitas dalam Novel Tiga Pengarang Perempuan Indonesia” masih berbicara tentang pengarang perempuan, namun tema yang saya bahas bukan seksualitas, melainkan religiusitas, sesuatu yang mungkin belum pernah dibicarakan dalam konteks “pengarang perempuan” di negeri ini. Ternyata seksualitas bukan satu-satunya isu yang dipentingkan oleh pengarang perempuan—tekanan pada isu itu hanyalah stereotipe hasil politik sastra yang berpusat pada sensasi. Pada saat pengarang perempuan dituduh telah sama sekali meninggalkan moral dan agama, ternyata di antara mereka ada yang justru mendalami agama dan mencari bentuk spiritualitas yang sesuai dengan zaman kini.

“Nyai Dasima dan Nyai Ontosoroh” pun berbicara tentang perempuan, meskipun bukan tentang perempuan sebagai pengarang, melainkan sebagai tokoh. Esei itu mungkin tampak hampir tidak ada hubungannya dengan isu “perempuan dan seks” di atas, tapi sesungguhnya tidaklah demikian: cerita nyai, dengan “Tjerita Njai Dasima” sebagai salah satu contohnya, merupakan “cerita porno”- nya zaman kolonial, dan karena itu dapat disebut sebagai semacam “pendahulu” karya ala Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu. Tapi dalam apropriasi tokoh nyai yang dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam tetraloginya, bukan isu seks yang diutamakan, melainkan isu pascakolonialitas. Pascakolonialitas dalam hubungannya dengan persoalan gender dan pengalaman perempuan juga dipersoalkan dalam novel Disgrace karya pengarang Afrika Selatan J.M. Coetzee. Sayang sekali pengarang perempuan Indonesia tampaknya selama ini kurang berminat pada persoalan pascakolonialitas—kondisi unik negeri pascakolonial seperti Indonesia dengan budayanya yang hibrid jarang diberi perhatian. Pascakolonialitas juga saya bicarakan dalam esei “Dukun dan Dokter dalam Sastra Indonesia” dan “Tetapi Kutukanku akan Terus Berjalan”.

Dalam esei “Incest” saya membahas sebuah novel yang, karena kritiknya terhadap beberapa persoalan budaya lokal, menyinggung warga di desa asal pengarangnya di pedalaman Bali, sehingga pengarangnya harus menerima hukuman adat yang sangat berat: dikeluarkan dari desa adat untuk 5 tahun. Kalau dihubungkan dengan sensasi seputar pengarang perempuan yang terjadi terutama di Jakarta, terlihat kontras yang cukup menarik: “keberanian” pengarang perempuan dalam “mendobrak tabu” seputar seks dirayakan seakan-akan hal itu merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa, padahal tidak ada represi sosial yang berarti terhadap mereka. Pada waktu yang sama, seorang pengarang di daerah menghadapi represi yang cukup serius, namun tidak ada “pengamat” dan “kritikus” sastra yang menghiraukannya, atau malah pernah mendengar kasusnya!

Salah satu aspek politik sastra Indonesia yang lain saya bicarakan dalam esei “Sastra Koran di Indonesia”, yaitu peran luar biasa yang diberikan kepada koran sebagai sarana publikasi sastra. Debat seputar “sastra koran” sempat hangat terutama setelah koran tersaingi oleh media baru, yaitu internet dan karya sastra yang disosialisasikan lewatnya. Meskipun koran terutama yang terbit di Jakarta—dan para redakturnya—tetap memiliki pengaruh yang sangat besar, bahkan mungkin tidak salah untuk disebut sebagai yang paling besar pengaruhnya di dunia sastra kontemporer Indonesia, internet telah membuka peluang untuk sosialisasi karya sastra dan pertukaran pendapat tentang sastra yang lebih luas dan demokratis. Internet juga menawarkan berbagai cara baru dalam berkarya atau menanggapi karya, yang salah satunya saya bahas dalam esei “Karya Sastra sebagai Taman Bermain” dalam buku ini.[]


Daftar Isi


Tentang Penulis — v
Bila Perempuan Menulis Perempuan... oleh St. Sunardi — ix
Ucapan Terimakasih — xv
Pengantar Penulis — xvii

  1. Karya Sastra sebagai Taman Bermain — 1
  2. Dukun dan Dokter dalam Sastra Indonesia: (Literature and Medicine—Sebuah Studi) — 13
  3. Nyai Dasima dan Nyai Ontosoroh: Sebuah Intertekstualitas Pascakolonial — 27
  4. Sastra Koran di Indonesia — 39
  5. “Tetapi Kutukanku Terus Berjalan”: Pascakolonialitas dalam Cantik Itu Luka — 49
  6. Religiusitas dalam Novel Tiga Pengarang Perempuan Indonesia — 59
  7. Lelaki Harimau — 79
  8. Vagina yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami — 87
  9. Disgrace J.M. Coetzee — 103
  10. Incest — 111
  11. Nayla:

Potret Sang Pengarang Perempuan sebagai Selebriti — 123
Sejarah Penerbitan Esei — 141


Tentang Penulis


Katrin Bandel lahir 29 Desember 1972 di Wuppertal, Jerman. Menyelesaikan doktor dalam sastra Indonesia pada tahun 2004 di Universitas Hamburg, Jerman, dengan topik “Pengobatan dan Ilmu Gaib dalam Prosa Modern Indonesia”. Puisi, cerpen, dan eseinya dimuat di Cyber Graffiti, Ini...Sirkus Senyum, Graffiti Imaji, Dian Sastro For President!, Batu Merayu Rembulan, Esei-esei Bentara 2004, Sastra Pembebasan, Les Cyberlettres, On/Off, mejabudaya, Jurnal Cerpen Indonesia, Bentara, Horison, Basis, Kompas, Bernas, Minggu Pagi, Suara Merdeka, dan di situs sastra cyberpunk Indonesia www.cybersastra.net. Katrin juga seorang pelukis dan pernah berpameran tunggal di ViaVia CafĂ© Yogyakarta. Saat ini menetap di Yogyakarta dan menjadi dosen tamu mata kuliah “Teori-teori Budaya” dan “Gender Studies” di program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.[]

Sumber: Jalasutra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...