Ada perbedaan perlakuan Allah terhadap umat dahulu dan umat masa kini. Ini diakibatkan dari perbedaan tingkat kemampuan akal manusia.
Sekitar satu minggu sebelum berlangsungnya Kongres Kebudayaan, terjadilah bencana alam, yaitu meletusnya Gunung Lokon di Minahasa, Sulawesi Utara. Marilah kita melihat kaitan antara budaya - dalam hal ini kepercayaan - dengan letusan Gunung Lokon. Sebab, ada yang percaya bahwa bencana tersebut adalah akibat murka Tuhan. Benarkah demikian?
Pandangan tersebut di atas, mungkin, ditopang antara lain oleh surah Al-Haqqah ayat 5 dan 6 yang menginformasikan bagaimana Allah membinasakan kaum 'Ad dan Tsamud yang durhaka dengan gempa dahsyat dan topan yang sangat dingin.
Adanya gempa dan topan pada masa itu tidak mudah disangkal lagi. Para pakar arkeologi membuktikan bahwa di sekitar lembah Yordania dan Pantai Laut Merah, di mana kedua kaum itu berdomisili memang pernah terjadi seperti yang dikisahkan dalam Al-Quran. Tetapi, apakah itu semua diatur oleh Allah akibat kedurhakaan mereka?
Hemat saya, walaupun redaksi ayat di atas mendukung dan saya mengiyakan untuk pertanyaan di atas, namun tidak serta merta letusan Gunung Lokon menunjukkan adanya murka Allah bagi penduduk sekitarnya.
Ada perbedaan perlakuan Allah terhadap umat dahulu dan umat masa kini. Ini diakibatkan dari perbedaan tingkat kemampuan akal manusia. Para nabi terdahulu dilengkapi Allah dengan mukjizat yang bersifat indrawi guna membuktikan kebenaran rasul, karena akal masyarakat ketika itu membutuhkannya. Mukjizat ini tujuannya untuk membujuk mereka, sebagaimana anak kecil yang perlu dibujuk dulu agar mau makan atau menelan obat.
Ketika manusia telah mencapai kedewasaan akalnya, bukan hanya mukjizat yang bersifat indrawi yang ditiadakan, Nabi pun diakhiri kehadirannya. Petunjuk-Petunjuk-Nya pun bersifat umum, karena akal manusia dinilai telah mampu - dalam memperhatikan petunjuk-petunjuk itu - untuk dapat menemukan kebenaran dan kebahagiaan.
Dahulu - menurut Auguste Comte (1778-1875) - pada tahap pertama pemikirannya, manusia menafsirkan gejala alam dengan mengaitkan secara langsung kepada Tuhan. Inilah contoh budaya mereka. Tahapan ini kemudian beralih ke penafsiran metafisika dan berakhir dengan penafsiran ilmiah. Kalau demikian, beralasanlah jika pada tahap pertama, Tuhan menunjukkan wujud-Nya dengan apa yang terjangkau oleh pemikiran manusia ketika itu.
Dan, sekarang ini, pada masa kedewasaan akal, Tuhan tidak lagi memperlakukan manusia seperti itu. Karena, dengan kedewasaan akal, mereka telah sampai pada kesimpulan bahwa ada hukum yang mengatur fenomena alam, termasuk letusan Gunung Lokon. Tetapi, apakah ini berarti bahwa budaya tidak dibutuhkan lagi? Kenyataan sekarang ini menunjukkan bahwa putra-putri abad ke-20 merasa bahwa ada yang kurang dalam kehidupan mereka, bila hanya ilmu yang diandalkan. Kekurangan itu perlu diisi. Ada yang mengisinya dengan sastra, seni atau musik, dan ada pula dengan kebatinan atau tasawuf.
Betapapun, hal ini menunjukkan bahwa penafsiran ilmiah semata tidak cukup. Manusia membutuhkan sesuatu yang berkaitan dengan jiwanya. Ia membutuhkan iman. Harus diakui bahwa iman tidak dapat mengambil posisi ilmu yang, antara lain, memperkenalkan fenomena alam dan hukum-hukumnya. Namun demikian, manusia harus beriman dan percaya kepada Allah, sambil meyakini adanya hukum alam - antara lain yang menyebabkan letusan Gunung Lokon. Hukum alam ini ditetapkan oleh Allah. Ketetapan-Nya pasti dan tidak berubah, sebagaimana firman-Nya: Kamu tidak akan mendapatkan perubahan pada sunnatullah (QS 33: 62).
Ilmu yang mendampingi iman menghindarkan manusia dari pencemaran dan takhayul. Namun, ilmu tanpa budaya menggersangkan hidup manusia. Ilmu tanpa iman adalah senjata di tangan penjahat atau pelita di tangan pencuri.[]
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 365-368
Tidak ada komentar:
Posting Komentar