Manusia, bila ditinjau dari segi sifat atau tindakannya yang positif atau negatif sehingga dapat dibedakan seseorang dengan lainnya, dinamai oleh Al-Quran dengan insan. Kata ini berakar dari kata yang dapat berarti "lupa", "gerak dinamis", "jinak", atau "senang". Arti-arti tersebut menggambarkan sebagian dari sifat dasar manusia. Al-Quran berbicara tentang makhluk ini, baik secara perorangan maupun kelompok, juga peranannya dalam pergerakan sejarah serta faktor yang dapat membawa kebangkitan dan keruntuhannya.
Manusia atau masyarakat terdiri dari unsur yang menyatu -- luar dan dalam. Yang luar adalah jasmaninya atau bentuk lahiriah masyarakat, sedangkan yang dalam adalah perpaduan antara pandangan hidup dan tekad atau kehendaknya. Walaupun Al-Quran menguraikan pentingnya pembinaan kedua unsur tersebut, namun ditekankannya bahwa unsur dalam itulah yang menggerakkan sejarah manusia serta mengantarkan masyarakatnya maju ke depan atau runtuh berantakan.
Sangat populer ayat yang menegaskan ini, walaupun tidak jarang diterjemahkan secara keliru dan dipahami secara salah: Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang terdapat pada (keadaan) suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri mereka (QS 13: 11). Yang dimaksud dengan keadaan suatu kaum adalah bentuk lahiriah suatu masyarakat, sedangkan apa yang terdapat dalam diri mereka adalah pandangan hidup dan kemauan atau tekadnya itu.
Pandangan hidup seseorang maupun suatu masyarakat dapat berbeda. Apabila pandangan tersebut sederhana, sementara, atau terbatas, maka gerak langkah dan tujuannya pun bersifat sementara dan terbatas. Pandangan hidup menentukan arah dan tujuan yang ingin dicapai dan arah itulah yang menetapkan gerak langkah seseorang maupun masyarakat.
Makan, minum, kesenangan, dan perolehan materi saja adalah bagian dari tujuan yang terbatas, sedangkan arah dan tujuan yang tak terbatas dimulai dari sana sampai melampaui batas-batas hidup duniawi dan kemegahannya menuju suatu totalitas wujud yang mutlak. Selama arah telah ditetapkan -- baik terbatas maupun tidak -- dan tekad telah dibulatkan, niscaya arah yang dituju akan dicapai. Inilah pesan ayat di atas.
Suatu masyarakat yang pandangan hidupnya terbatas, pada mulanya memang akan mengalami fase kemajuan dan kekompakan: Siapa yang menghendaki kehidupan sementara yang dekat, Kami segerakan baginya di dunia ini apa yang Kami kehendaki... (QS 17: 18). Tetapi, beberapa saat kemudian, masyarakat tersebut akan merasa jenuh dan bersikap tak acuh, masing-masing berjalan sendiri: Kamu duga mereka bersatu, padahal hati mereka saling bertentangan (QS 59: 14). Tidak lama setelah itu, masyarakat tersebut sampai pada batas usianya, karena memang kata Al-Quran: Bagi setiap masyarakat ada usianya (QS 7: 34).
Bersyukurlah kita sebagai bangsa, memiliki pandangan hidup dengan tujuan jauh ke depan, tanpa batas. Pandangan hidup yang puncaknya adalah Ketuhanan Yang Mahaesa yang menembus semua dimensi wujud. Tinggal bagaimana kita memahami serta menerjemahkannya dalam derap langkah kita, dan bagaimana kita memelihara tekad kita agar terus membulat dan membara karena dari sanalah bersumber daya manusia yang paling agung, menurut pandangan Al-Quran.[]
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 227-229
Tidak ada komentar:
Posting Komentar