Beberapa kali saya bertemu Mbah Maridjan. Jauh sebelum Mbah Maridjan diperlakukan khalayak sebagai ”selebriti” dan kemudian membuat yang bersangkutan cenderung agak menutup diri, saya diperkenalkan kepadanya oleh teman-teman seniman. Kami ngobrol gayeng di rumahnya yang sederhana di lereng Merapi. Perbincangan dalam bahasa Jawa.
Masih saya ingat jawabannya, ketika seorang teman bertanya kepadanya: Mbah, kesenian sing apik ki sing piye (kesenian yang bagus itu yang seperti apa)? Tercenung sejenak, dengan gayanya yang khas Mbah Maridjan bilang, ”Kesenian sing apik, ditiru ora iso, dicacat ora cacat.” (Kesenian yang baik, ditiru tidak bisa, dijelekkan tidak menjadi cacat).
Beberapa ungkapan Mbah Maridjan dikenang teman-teman. Rekan wartawan yang dekat dengannya ingat, ketika berkomentar bahwa desa ini resep (nyaman), Mbah Maridjan menukas: ”Resep opo? Senep....” (Nyaman apaan? Senep). Dengan itu Mbah Maridjan hendak mengungkapkan kemiskinan sehari-hari penduduk setempat—yang oleh kacamata luar dipandang asri permai tenteram.
Pada perkembangan selanjutnya, Mbah Maridjan sering muncul di televisi. Posenya terpampang di baliho serta di bis-bis kota di Jakarta sebagai bintang iklan. Terlihat di televisi pula, kediaman Mbah Maridjan tidak seperti dulu ketika saya kenal. Rumahnya mentereng, ubinnya berkilat.
Ketika televisi menayangkan Mbah Maridjan berlari-lari menutup muka menghindari kamera wartawan, selintas saya ingat Putri Diana. Nasib mereka kurang lebih sama. Sama-sama orang sederhana, tiba-tiba harus berada di panggung media massa dengan bahasa yang tak sepenuhnya mereka pahami. Mbah Maridjan tak beda dengan kita semua. Media massa, terlebih kenyataan gadungan televisi, telah membawa orang tercerabut dari realitas.
Dulu, stres Diana yang tak tertanggungkan bisa dilihat dari bahasa tubuh: memainkan kuku-kuku jari, kadang menggigitnya, kepala menunduk, mata melirik. Pada Mbah Maridjan, terlihat dengan gejala menutup diri. Seperti koala yang bisa kaget dengan entakan sekecil apa pun, misalnya bunyi jepretan kamera, begitu kurang lebih Mbah Maridjan. Sontak dia masuk cangkang begitu kamera mengarah kepadanya.
Pada makhluk-makhluk yang sensitif seperti koala, masih ada pihak yang melindungi. Misalnya dengan peraturan ketat: dilarang memotret, sedangkan Mbah Maridjan? Tiap detik privasinya dirambah, tanpa si perambah merasa bersalah. Akibat selanjutnya adalah keterasingan.
Tragedi keterasingan sudah sering diungkap berbagai karya seni dari sastra sampai film. Ujung dari itu semua adalah ”death wish”—kematian hanya sejengkal di depan kehidupan yang tak kita mengerti.
Mbah Maridjan barangkali bisa mengoperasikan kewaskitaannya menghadapi awan panas yang disebutnya ”wedus gembel”. Hidupnya akrab dengan semua gejala alam sehingga awan panas pun disebut mesra wedus gembel, harimau disebut kiaine, dan seterusnya. Namun wedus gembel media massa?
Ketika Julius Caesar ditusuk oleh sahabatnya sendiri, Brutus, sebelum tumbang sang kaisar hanya bisa berucap: ”Et tu? Brute?” (... dan kau, Brutus?).
Kita tidak tahu apa yang kira-kira terungkap dari Mbah Maridjan sebelum ajal menjemput. Adakah ”Et tu? Media?” Sampeankah itu, televisi....? ***
Sumber : Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar