Muhammad Al-Ghazali, seorang ulama Mesir kontemporer, meriwayatkan dalam bukunya, Rakaiz Al-Iman (Tiang-tiang Iman), sebuah dialog antara Ja`far Al-Shadiq (702-765 M) dengan seorang santri bernama `Unwan yang ketika itu berumur 94 tahun.
“Ayah siapakah engkau?” Tanya Ja`far Al-Shadiq.
“Ayah Abdullah,” jawab sang santri.
“Apa maksud kedatanganmu?”
“Semoga tuan berkenan mengajarkan sedikit ilmu tuan kepadaku.”
“Ilmu bukanlah sesuatu yang diperoleh melalui proses belajar mengajar. Tetapi, ilmu adalah cahaya yang dicampakkan Tuhan ke dalam jiwa mereka yang dikehendaki-Nya. Jika engkau menghendaki ilmu, wujudkanlah terlebih dahulu di dalam dirimu hakikat pengabdian kepada Allah.”
“Apakah hakikat pengabdian itu?”
“Ada tiga macam. Salah satunya adalah tidak memastikan keberhasilan target, tetapi selalu mengaitkannya dengan kehendak Allah.”
Demikian cuplikan dialog antara Ja`far Al-Shadiq dengan seorang santri. Apakah yang dapat kita petik darinya? Pertama, berkaitan dengan usia sang santri yang sudah 94 tahun namun masih haus ilmu. Seorang kakek telah mempraktikkan tuntunan belajar seumur hidup, “dari buaian hingga liang lahad”.
Kedua, berkaitan dengan pertanyaan kiai kepada santrinya menyangkut identitas sang santri. Beliau tidak bertanya tentang nama kakek itu, tetapi kunyah (gelar yang mengandung penghormatan atas adanya prestasi yang dibanggakan)-nya. Seakan akan kiai itu ingin mengetahui sampai di mana usaha mitra bicaranya dalam mendidik anak sehingga ia dapat berbangga dan sang anak dapat dibanggakan pula. Di sini seakan-akan ditekankan bahwa kebanggaan adalah suatu keberhasilan dalam mendidik anak atau dalam suatu proses pendidikan.
Ketiga, pengertian ilmu serta hakikat pengabdian. Yang terakhir ini secara khusus akan digarisbawahi.
Tidak dapat disangkal bahwa setiap Muslim diwajibkan menyusun rencana dan memiliki target menyangkut masa depannya serta berusaha sekuat tenaga untuk mencapainya. Tetapi, dalam saat yang sama, ia harus ingat bahwa sistem kerja alam raya ini saling berkaitan, yaitu seseorang tidak hidup sendiri, apa yang dikehendakinya belum tentu dikehendaki oleh pihak lain. Dan di atas semuanya, ada Tuhan Pemelihara alam, yang Mahabijaksana mengatur kepentingan semua mahluk. Karenanya, kaitkanlah target dengan kehendak-Nya!
Dalam kenyataan, kita sering berhitung di atas kertas tentang sukses yang akan dicapai. Tetapi, bila tiba saat memetik buah sukses terkadang ada saja yang diluar perhitungan, sehingga runtuhlah segala impian! Nah, dalam keadaan semacam ini, terasa besar manfaat nasihat di atas.
Jangan sekali-kali berkata, menyangkut sesuatu: “Aku akan lakukan hal itu esok,” kecuali dengan (berkata) jika dikehendaki Allah (QS 18: 23-24).
Ketika mengalami krisis, seringkali seseorang berkata: “Seandainya aku seperti si Anu”; “Seandainya aku menjadi pedagang,” keluh seorang pegawai; “Seandainya aku menjadi jenderal,” keluh sang dokter; “Seandainya aku kuliah di luar negeri,” keluh mahasiswa. Semua berandai dan akhirnya semua tidak merasa puas, demikian hati kecil menyelubungi kegagalan dengan hiasan perandaian. Tetapi, jika nasihat tadi dihayati maka akan luluh segala perandaian, dan ketika itulah kapak akan diayunkan guna menghindarkan segala rintangan dan sebab-sebab kegagalan. Bukankah tidak ada gunanya perandaian dan bukankah sejak semula keberhasilan target telah dikaitkan dengan kehendak-Nya?[]
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 103-105
Tidak ada komentar:
Posting Komentar