Dalam bahasa agama, masyarakat dinamai ummat, sedangkan pemimpinnya adalah imam. Keduanya - imam dan umat - terambil dari akar kata yang sama yang berarti “sesuatu yang dituju”. Pemimpin menjadi imam karena kepadanya mata dan harapan masyarakat tertuju. Di sisi lain, masyarakat dinamai umat karena aktivitas dan upaya-upaya imam harus tertuju demi kemaslahatan umat. Kesamaan akar kedua kata di atas sekaligus mengisyaratkan bahwa imam adalah wakil masyarakat,atau dalam bahasa tatanegara dinamakan mandataris.
“Tidak diangkat seorang imam di dalam atau di luar shalat kecuali untuk didikuti,” demikian sabda Nabi. Karena itulah menjadi kewajiban bagi umat untuk mengikuti dan menaati perintahnya, walaupun “imam itu seorang bekas budak yang berkulit hitam”. Karena imam atau mandataris diangkat oleh umat, maka ia berkewajiban membela seluruh umat, seluruh anggota masyarakat:” Yang lemah di antara kamu, kuat di mata saya, hingga saya menyerahkan kembali haknya kepadanya; dan yang kuat di antara kamu, lemah di mata saya, hingga saya mengambil kembali hak orang lain yang ada padanya,” begitulah antara lain pidato penerimaan jabatan Abu Bakar Al-Shiddiq, imam pertama dalam sejarah Islam sesudah Rasulullah saw.
Agama juga menandai imam atau mandataris sebagai Waly Al-Amr. Waly dapat diartikan sebagai “pemilik”, sedangkan al-amr adalah “urusan" atau “perintah”, dalam arti imam atau waly al-amr mendapat amanat untuk menangani urusan dan kepentingan umat sekaligus memiliki wewenang memerintah. "Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul serta waly al-amr di antaramu,” demikian firman Allah dalam surah Al-Nisa ayat 59 yang ditujukan kepada umat. Namun, persis sebelum perintah ini, ada perintah kepada waly al-amr: Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh) apabila kamu menetapkan hkum di antara manusia, supaya menetapkan dengan adil (QS 4: 59).
Penguasa adalah naungan Tuhan di bumi, kepadanya berlindung hamba-hamba Allah yang teraniaya. Apabila ia berlaku adil, maka ia memperoleh ganjaran, dan adalah kewajiban rakyat untuk bersyukur. Jika ia menyeleweng, ia memikul dosa, dan kewajiban rakyatlah untuk bersabar.
Dari akar kata waly lahir kata wala’ yang berarti kesetiaan dan kedekatan yang mengundang makna persahabatan dan dukungan. Demikian sebagian petunjuk yang berkaitan dengan kewajiban kita sebagai anggota masyarakat atau umat terhadap mandataris atau yang berwenang untuk memerintah.
Untuk itu marilah kita laksanakan pesan agama lebih lanjut: Idza faraghta fanshab, wa ila Rabbika farghab (Apabila engkau telah selesaikan satu pekerjaan, maka bersungguh-sungguhlah [menyelesaikan pekerjaan yang lain] dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya engkau berharap) (QS 94: 7-8).[]
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 384-386
Tidak ada komentar:
Posting Komentar