Sabtu, 19 September 2015

Pahlawan Amatir

Saya perlu meneruskan keakraban saya dengan LALAT, karena binatang ini menempati posisi tinggi dalam budaya penghuni negeri ini. Ketinggian posisinya adalah kebebasannya menebarkan 'tahi' hampir di berbagai sudut tubuh –termasuk wajah– dan bahkan menjadi hiasan kecantikan bagi mereka yang menyediakan 'closet' di tempat yang tepat. Tahi lalat bahasa Inggrisnya beauty spot, pemanis wajah dara jelita - penebar pesona jejaka perkasa.

Dengan sajian kopi tubruk dan mangga Indramayu saya berbincang dengan lalat (bukan se-ekor, karena seperti manusia, lalat tidak berekor) yang memperkenalkan dirinya bernama LALAT Setianegara berkaitan dengan perINGATan hari Pahlawan.

Adakah pahlawan dalam masyarakat lalat?” saya bertanya sambil mempersilahkannya menghirup kopi.

“Pahlawan itu anugerah, rahmat dan berkah Tuhan bagi manusia. Pahlawan itu orang yang diridhoi Tuhan atas sikap dan perilakunya dalam menjalankan peran dan fungsinya, hingga dianugerahi pahala oleh Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Penyayang. Pahlawan adalah orang yang berpahala. Jadi setiap manusia berhak untuk menjadi pahlawan. Karena ini hanya untuk manusia, maka para lalat tahu diri dan hanya menjadi saksi kepahlawanan anda”

“Jadi saya juga berhak menjadi pahlawan?”

“Benar, selagi sikap dan perilaku anda diridhoi Tuhan”

“Jadi yang menetapkan saya pahlawan atau bukan itu Tuhan?”

“Benar, hak itu seperti wadah, yakni potensi yang dikaruniakan Tuhan untuk anda isi dengan amal perbuatan. Selagi wadah atau fisik atau jasad anda masih mampu beroperasi, isilah wadah kepahlawanan anda dengan men-tunai-kan kewajiban yang diberlakukan dan kucuran tanggung-jawab yang anda emban, hingga Tuhan bekenan (ridho) menaburkan butir-butir pahala-Nya yang layak bagi anda – Dia Maha Melihat lagi Maha Bijaksana”

“Bagi kami, para pahlawan adalah orang-orang yang membela kebenaran, bertempur bagi keadilan dan berjuang bersama kejujuran untuk bangsa dan negaranya atau mereka yang gugur di medan pertempuran pada masa-masa perang. Jadi para pahlawan adalah pendahulu kita yang gugur dalam pertempuran dalam merebut kemerdekaan dan dapat saja muncul di masa-masa damai seperti sekarang. Bedanya, hanya pada senjata dan manajemen perang yang digunakan. Jika dahulu hanya cukup bambu runcing, sekarang dengan senjata otomatis, kapal perang dan pesawat tempur canggih. Sekarang lebih handal, lebih cerdas dan lebih profesional”

“Anda benar, para profesional adalah orang-orang yang trampil (skillful) dalam pekerjaan yang ditekuni. Christiano Ronaldo, Wayne Rooney dan Kaka adalah contoh-contoh pesepak bola profesional – mereka trampil dalam memainkan bola. Mereka dibayar tinggi untuk ketrampilan dan kemampuannya. Loyalitasnya berpihak kepada siapa yang membayar paling tinggi atas profesionalitas yang ditawarkan. Kemaren membela MU melawan Real Madrid, besok justru melawan MU untuk membela Real Madrid yang membelinya harga lebih tinggi dari klub yang saat ini perlu dikalahkannya. Gurkha adalah tentara profesional yang bertempur untuk Inggris (dan sekutunya) melawan arek-arek Suroboyo dalam peristiwa 10 Nopember 1945. Loyalitas tentara Gurkha kepada Inggris adalah imbalan atas bayaran yang diterima untuk ketrampilannya bertempur dan keberaniannya menggempur. Jika saat itu arek-arek Suroboyo sepakat urunan, lalu menawarkan kepada komandan Gurkha bayaran yang lebih tinggi dari yang diberikan oleh Tentara Inggris, boleh jadi mereka berbalik memerangi pasukan yang membawa mereka ke bumi Nusantara”

“Jadi para pejuang kemerdekaan yang gugur dalam pertempuran tidak profesional?”

“Benar, mereka tidak profesional mereka justru amatiran”

“Lho…!”

“Kenapa lho?”

“Bukankah amatirisme lebih rendah dari profesionalisme?”

“Orang-orang amatir adalah mereka yang bekerja atas dorongan cinta. Orang amatiran adalah orang yang mencintai pekerjaannya. Kata amatir adalah bahasa yang di impor dari Inggris -amateur- aslinya dari bahasa Latin, amator atau lover, representasi seorang pecinta atau amare ‘to love’ yang bermakna mencintai. Bersama cintanya mereka dengan tekun belajar, terus berlatih, tak berhenti berkarya dan tak bosan mengasah diri agar hasil pekerjaannya dapat bermanfaat bagi khalayak”

“Jadi para pejuang yang gugur dalam perang kemerdekaan, Bung Tomo, Bung Karno dan Bung Hatta, Bung Syahrir termasuk pejuang pendahulunya Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Cut Nyak Dien dan yang lainnya adalah amatiran?”

“Beliau-beliau adalah seorang ‘pecinta’. Mereka mencintai bangsanya, mencintai keadilan dan mencintai tanah kelahirannya. Mereka berjuang atas dorongan ‘energi cinta’ yang membara kepada Sang Pencipta – Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Luas Karunia-Nya. Ketika mulai berjuang (bukan mulai menjabat) mereka tidak perlu disumpah, karena di dalam cinta yang indah telah melekat kesetiaan -loyalitas- kepada yang dicintainya. Mereka tidak tertarik (interested) oleh imbalan sesuatu, melainkan terdorong (driven) karena merasakan terangnya cahaya cinta ditengah kegelapan masyarakatnya”

“Bagimana dengan ‘iklim’ profesionalisme yang saat ini melanda dunia? Kita diwajibkan berlaku dan bekerja secara profesional di setiap sendi-sendi kehidupan. Mulai Presiden, Menteri, Polisi, Hakim, Jaksa, Pengacara, hingga Karyawan dan Pengusaha dituntut untuk bekerja profesional”

“Setiap yang benda yang tertarik akan mudah goyah. Ia melaju ke kiri, ke kanan, ke depan atau ke belakang sangat terkait dan terikat dengan besarnya “gaya tarik” dari arah mana yang mampu menggeser dari posisi asalnya. Goyah itu tidak tetap dan tidak mantab. Tetap pada posisi dan mantab dalam keteguhan hati. Goyah itu cerminan keraguan, dan setiap keraguan tidak akan pernah melaju untuk menghantarkan sampai ke tempat tujuan”

“Lalu, lebih tinggi mana nilai amatirisme atau profesionalisme?”

“Jangan membandingkan rasa cinta dengan kekaguman pada pesona.”

“Maksud anda?”

“Profesionalisme benar dan amitirisme juga benar, keduanya seperti keberadaan garpu dan sendok pada piring atau mangkuk yang berisi sajian makanan anda. Jangan mengambil kuah dengan garpu dan jangan menusuk daging, tempe atau tahu dengan sendokmu. Nikmatilah gurihnya kuah dengan sendokmu, belahlah sajian lauk dengan sendokmu dan rapikan dengan garpu di tangan kirimu, lalu suapkan kepada mulutmu dan rasakan dengan lidahmu, hingga rasa syukur merambah ke dalam hatimu”

“Bagaimana dengan cara makan yang tanpa sendok dan tanpa garpu”

“Maaf, sementara catat dulu pertanyaan ini dan kirim e-mail saja ke saya. Tak tahan, saya pergi sebentar, ada perlu”

“Ke mana?”

“Ke closet – ada orang-orang “trampil” yang ingin terlihat cantik dan tampan agar mempesona ketika tampil di TiVi,…maaf.”***

oleh: Pudji Asmanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...