Rabu, 23 September 2015

Ihwal “Keakuan” (Egoisme)

Tahukah Anda kata yang paling banyak digunakan dalam percakapan sehari-hari? Penelitian tentang hal ini pernah dilakukan, walaupun bukan di tanah air.

Ali Amin, wartawan kawakan dari Mesir, menulis dalam harian Akhbar Al-Yaum bahwa suatu perusahaan telepon merekam lima ratus percakapan dalam rangka mengetahui kata yang paling banyak digunakan. Dan, ternyata, kata tersebut adalah yang menunjuk pada diri pembicara seperti “Aku” atau “Saya. Ia terulang sebanyak 3.999 kali atau sama dengan delapan kali setiap dilakukan suatu percakapan. Sayang, tidak diinfomasikan berapa lama berlangsung setiap percakapan itu.

Rupanya, kata “Aku” atau “Saya” merupakan kata yang paling ringan ,indah dan lezat untuk diucapkan, walaupun sering kali kata tersebut merupakan kata yang “berat” terdengar di telinga mitra bicara kita. Apakah hal ini merupakan indikator tentang mendalamnya individualisme, serta menonjolnya “keakuan” manusia dewasa ini? Mungkin. Tetapi, bukan di sini tempatnya untuk menjawabnya. Yang ingin kita bicarakan adalah pandangan agama tentang hal tersebut.

Tentu saja mustahil kata “Aku” atau “Saya" dihapus dari kamus bahasa manusia. Tetapi manusia dapat dituntut, kapan dan bagaimana ia menggunakannya. Dari Al-Quran, kita dapat menemukan petunjuk-petunjuk tersirat melalui ayat-ayatnya yang tersurat.

Tuhan dan manusia menggunakan kata “Aku” atau “Saya”, walaupun diakui bahwa Allah SWT Mahamutlak serta tak ada yang menyamai kebesaran dan keagungan-Nya, namun jarang sekali Dia Yang Mahakuasa itu menggunakan kata-kata “Aku” atau “Saya”. Jika dikuatirkan timbul kesalahpahaman tentang Zat atau wewenang-Nya barulah kata-kata tersebut digunakan. Pada umumnya, Tuhan menunjuk kepada diri-Nya dengan bentuk jamak, yang antara lain mengandung makna keterlibatan mahluk bersama-Nya dalam aktivitas yang ditunjuk.

Manusia-manusia pilihan Tuhan menggunakan kata “aku” bukan dalam rangka menonjolkan keakuan, tetapi menggambarkan kebutuhan dan kelemahan mereka khususnya di hadapan Allah SWT. Perhatikan, misalnya, ayat berikut ini. Katakanlah: "Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku.dan tidak pula aku mengetahui yang gaib, dan tidak pula aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengetahui kecuali apa yang diwahyukan kepadaku” (QS 6 :50).

Demikian juga halnya jika untuk satu dan lain sebab mereka menonjolkan keistimewaan, sebagaimana dicontohkan dalah ayat berikut. Ini adalah sebagian dari anugrah Tuhanku, dalam rangka mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya) (QS 27 :40).Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui (QS 12 :86).

Di samping itu, kalau kata “Aku” mereka gunakan, maka itu dalam rangka menggabungkan diri ke dalam kelompok. Orang-orang terpuji menyatakan keislaman mereka dengan berucap, Dan saya termasuk kelompok orang Muslim, atau Aku diperintahkan menjadi salah seorang dari kaum Muslimin (lihat QS 10 :72; 41 :33).

Umat Islam dituntut oleh Al-Quran untuk mengucapkan: Hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami memohon bantuan (QS 1 :5).Ia tidak dibenarkan mengubah kata “kami” menjadi “aku” walaupun ketika ia shalat sendirian. Hal ini antara lain memberi kesan bahwa keakuan seorang Muslim secara konseptual harus lebur dalam “aku-aku” yang lain. Ia harus selalu bersama orang atau mahluk-mahluk yang lain. Kebersamaan tersebut menghasilkan keterikatan seorang Muslim dengan sesama manusia, sehingga merasakan derita orang lain. ”Bagaikan satu jasad yang memiliki organ-organ; seluruh jasad merasakan keluhan organ lain yang terkecil sekalipun.”

Kiranya dari sini kita dapat memahami,mengapa tokoh Qarun---seorang kaya raya pada masa Musa a.s. yang tidak merasakan derita orang lain-–dikecam Al-Quran ketika menonjolkan keakuanya dengan berkata: Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku (QS 28 :78).

Ciri Agama Islam adalah kebersamaan, dan ia harus mewarnai seluruh aktivitas Muslim---termasuk mewarnai ucapan-ucapanya.Wallahu A’lam.[]

M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 236-239

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...