/1/
Orangtua Sabit adalah pasangan pegawai negeri yang sedang mengejar karir. Dengan tuntutan pekerjaan, keadaan ekonomi simpang siur dan kerja sampingan, mereka tidak punya waktu untuk memberi perhatian yang cukup untuk Sabit. Bocah kecil itu tidak mengendus persekongkolan di depan hidungnya: suatu pagi yang buta tahun 1997, mereka bertiga tiba di Sidoarjo. “Menjenguk Kakek,” kata ibu. Sabit senang berplesir. Kakek membawanya ke pasar lalu jalan-jalan di alun-alun kota dengan vespa biru muda. Pakde Broto mengajarkan naik sepeda dan Mbak Dian menemani bermain layangan. Ia tidur nyenyak dan bahagia malam itu.Keesokan harinya, Sabit menangis tiada henti: orang tuanya pulang ke Jakarta ketika ia tidur––meninggalkannya sendirian di tengah keluarga yang asing.
Kakek memungut air mata Sabit, memasukkannya dalam kotak kecil lalu menanam kotak itu di dalam tanah. Dua tahun kemudian, Sabit tidak lagi menangis dan kesedihannya tumbuh menjadi sebatang pohon jambu yang tegar dengan buah yang manis dan segar.
*
Suatu senja musim kemarau 2001, Sabit terduduk di atas pohon jambu airnya dengan kesedihan yang sama seperti ketika ditinggal orangtuanya–keterasingan yang sama. Semua orang menyembunyikan sesuatu darinya, dan Kakek, tempat ia biasa mengadu, tak kunjung pulang. Kakek bahkan tidak menjemputnya di sekolah. Siang itu, satu jam penuh Sabit menunggu kedatangan Kakek, sementara semua temannya sudah pulang dengan berjalan kaki atau dijemput orangtua mereka. Pada akhirnya Pakde Broto datang menjemput, membawa Sabit pulang, lalu lelaki itu pergi lagi. Ke rumah sakit, katanya.
Bude Lastri diam saja ketika ditanya siapa yang sakit. Ia sibuk menghitung pendapatan toko sambil bicara di telepon. Nenek sedang berbicara dengan berbisik pada Yu Marni di belakang rumah. Sabit keluar, menunggu Kakek datang, hendak menanyakan siapa yang sakit. Kakek selalu menjawab pertanyaannya, meski kadang Sabit harus menunggu beberapa lama untuk mengerti jawaban itu.
Sabit tidak bodoh. Ia sudah kelas empat dan tahu ketika orang-orang menyembunyikan sesuatu darinya. Ketika matahari terbenam dan Kakek belum juga pulang, ia memutuskan bahwa Kakek sakit. Namun ia tidak habis pikir, kenapa semua orang tidak bicara terang-terangan saja padanya? Ia sering sakit dan Nenek merawatnya sampai sembuh. Kalau sakitnya cukup berat dan harus masuk rumah sakit, Kakek akan membutuhkan waktu lebih lama untuk sembuh. Sabit tahu itu. Suatu ketika, Mbak Dian dirawat di rumah sakit karena tipes. Sabit datang menjenguk bersama Kakek dengan membawa buah-buahan. Beberapa hari kemudian Mbak Dian keluar rumah sakit dan bermain lagi dengannya. Tidak ada yang salah dengan masuk rumah sakit.
Sabit benar. Dua hari kemudian Pakde Broto membawanya ke rumah sakit. Semua orang ada di sana: Nenek, Bude Lastri dan Mbak Dian. Sabit duduk di samping Kakek, menggenggam tangan tua berjemari raksasa itu. Tidak ada yang salah dengan masuk rumah sakit.
Kakek tinggal di rumah sakit selama dua minggu dan pulang ke rumah dengan bersandarkan pada engrang. Kaki kirinya mati akibat kecelakaan dalam perjalanan menjemput Sabit di sekolah tempo hari. Stroke, itu nama penyakit Kakek. Sabit tidak tahu apa arti penyakit itu, tapi ia tahu pasti, ia membencinya.
Setiap pagi, sebelum berangkat sekolah, Sabit selalu menatap kenangan dari vespa biru muda yang sering membawanya ke sekolah atau jalan-jalan keliling kota bersama Kakek. Sabit rindu suara mesin tua itu.
Sejak saat itu, Sabit pergi ke sekolah dengan bersepeda.
/2/
Dengan satu kaki tambahan, Kakek semakin lincah. Pukul lima pagi ia bangun dan mengajak Sabit jalan pagi. Setelah itu ia membantu Nenek memberi makan bebek, sementara Bude Lastri memasak dan Sabit mandi. Lelah beraktivitas, Kakek akan duduk di depan rumah dengan koran, kopi, dan pisang goreng. Ketiganya disajikan hangat. Pukul setengah tujuh, setelah Sabit mengayuh sepeda ke sekolah, Kakek dan Nenek membuka warung di depan rumah. Setiap Nenek membereskan warung––entah itu menyapu atau merapikan barang dagangan–Kakek berusaha membantu, tapi Nenek selalu melarang dan menyuruh Kakek untuk duduk menunggu pelanggan. Kata dokter, Kakek tidak boleh terlalu lelah.Setiap bulan Pakde Broto membawa Kakek ke rumah sakit untuk pemeriksaan rutin. Mereka akan pulang dengan sekantong obat. Sabit selalu mengingatkan Kakek untuk meminumnya, dengan harapan Kakek akan sehat kembali dan mimpi buruknya berakhir.
Keadaan itu tidak bertahan lama. Satu tahun kemudian kesehatan Kakek memburuk. Tangan kirinya ikut lumpuh. Ia tak bisa lagi mengenakan engrang dan dipaksa untuk duduk di atas kursi roda. Nenek selalu setia mendorong kursi roda Kakek ke mana pun Kakek pinta. Pakde Broto masih setia melakukan antar jemput ke rumah sakit, namun Sabit tahu, ia butuh lebih dari obat-obatan untuk menyembuhkan Kakek. Ia butuh keajaiban.
Setiap pulang sekolah, Sabit selalu berharap keajaiban akan membuat Kakek berdiri di halaman rumah, memanasi mesin vespa kesayangannya, lalu mengajak Sabit keliling kota. Namun kemudian vespa Kakek dijual untuk membeli obat-obatan.
Sabit percaya pada guru sekolahnya. Mereka pintar. Ia selalu berdoa setiap habis solat lima waktu––terlebih ketika ia mau tidur––karena gurunya bilang, Tuhan pasti mengabulkan doa hamba-Nya yang beriman.
Tapi keajaiban tak kunjung datang.
Lelah menunggu, Sabit memutuskan untuk membuat keajaiban sendiri. Ketika keluarga berkumpul untuk makan malam, Sabit berjanji pada Kakek: ia mau jadi dokter.
Semangat betul Sabit menghidupi cita-cita itu. Setiap bermain dengan Mbak Dian, ia menjadi dokter dan Mbak Dian pasiennya. Penyakitnya macam-macam, dari masuk angin, tipes, patah tulang, sampai kanker. Sabit merawat sang pasien dengan penuh perhatian, meski Mbak Dian sering lupa penyakitnya. Sabit pernah marah besar karena Mbak Dian berjalan dengan normal padahal semestinya kaki kirinya patah.
Sabit sadar, untuk menjadi dokter sungguhan, ia harus punya pasien sungguhan. Ia mau merawat Kakek, tapi penyakit Kakek adalah penyakit berat––lagipula, ia tidak tahu persis apa itu stroke. Ia memutuskan, ia harus merawat seseorang dengan penyakit ringan, untuk permulaan, sebagai ajang pelatihan menjadi dokter.
Gayung bersambut. Suatu sore ia menemukan seekor bebek peliharaannya berjalan tertatih. Kaki kirinya pincang. Sabit menangkap bebek itu dan membalut kakinya yang pincang dengan perban dan obat merah. Memang, ia hanya merawat bebek, bukan manusia; tapi hal itu tidak membuatnya urung sumringah. Ia pandangi balutan perban di kaki kiri bebek itu dengan bangga. Ini langkah kecil yang mengawali masa depan gemilangnya sebagai dokter. Layaknya ungkapan astronot tersohor yang namanya belum pernah tersangkut di telinga Sabit: One small step for a man, one giant leap for mankind.
/3/
Pada hari Minggu, Pakde Broto meminta Sabit membantunya menyembelih ayam untuk menjamu tamu dari luar kota. Dengan antusias Sabit memenuhi permintaan itu. Ia suka makan ayam goreng, tapi ia tidak tahu apa yang harus dilalui sepotong paha atau dada ayam untuk tiba di atas meja makan dengan hangat dan nikmat.Pakde Broto mengasah pisau lalu mengambil seekor ayam jantan yang sudah dipisahkan sejak semalam. Ia menyuruh Sabit untuk memegang sayap dan kaki ayam itu supaya tidak meronta, sementara ia mengulir pisau tajam ke leher ayam.
Darah hitam kental menetes. Ayam itu tersengal, tersedak darahnya sendiri, lalu terbatuk ngilu. Sayap dan kakinya meronta payah. Darah hitam kental mengucur deras.
Mengucur deras.
Menggenang di tanah.
Pakde Broto meletakkan pisau.
“Wis, selehno ning lemah wae,”[i] ujar Pakde Broto.
Sabit bergeming. Darah hitam kental, mengucur deras.
“Bit?”
Kepalanya berat. Dunia hitam kental, mengucur deras.
Sabit tidak tahu kenapa ia tidak bisa menangkap suara Pakde Broto dengan jelas, atau mengapa pandangannya jadi semakin kabur. Ia tidak tahu mengapa lututnya lemas dan mengapa ia jatuh terkapar tak sadarkan diri.
Tak ada orang yang pernah memberitahu Sabit tentang hemaphobia.[ii]
/4/
Seiring pergantian tahun, Kakek semakin lemah. Ia keluar dari kursi roda untuk menghabiskan waktu bergumul dengan bantal dan guling di atas kasur. Sepetak kamar berukuran 2×3 itu telah menjadi dunianya. Kemampuannya berkomunikasi terpangkas jadi seperti bayi.Sabit duduk di kelas dua SMP ketika Kakek meninggal.
Pukul satu siang, di tengah pelajaran, Pakde Broto datang ke sekolah untuk meminta izin pulang. Perjalanan pulang itu adalah perjalanan paling panjang di sepanjang hidupnya.
/5/
Setelah lulus SMP, Sabit kembali ke Jakarta.Dengan cepat ia menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Ia segera mengganti “aku-koen” dengan “lo-gue”, mempelajari kosakata remaja Jakarta, mulai ngegebet gadis sebaya, dan memamah buku, film serta musik yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan olehnya. Ia berkenalan dengan mall dan cafe, membeli DVD porno di kolong flyover Senen, belajar memainkan gitar, mencicipi ganja, memanjat tembok sekolah pada jam istirahat untuk merokok, dan kolekan dengan teman-temannya untuk membeli wiski murah sepulang sekolah.
Dua tahun pertamanya di Jakarta, Sabit menemukan dirinya menjadi pribadi yang sama sekali lain. Tapi satu hal yang tidak berubah:
Ia masih ingin menjadi dokter.
Sabit berusaha membiasakan diri dengan darah. Ia tahu hal itu sangat sulit untuk dilakukan, tapi ia tidak menyerah. Ia tidak percaya kodrat, dan kalaupun ternyata manusia punya kodrat, Sabit yakin bahwa kodrat manusia adalah kemampuan untuk berubah. Dan nyatanya, ia bisa berubah. Sejak kelas tiga SMP, ia sudah mulai menghadapi ketakutannya itu. Mulanya ia masih pingsan, tapi lama kelamaan ia berhasil menjaga diri agar tetap sadar meskipun tubuhnya jadi lemas dan pucat. Nantinya, satu tahun setelah lulus SMA, Sabit berhasil merawat lukanya sendiri tanpa gemetar di tangan ataupun tubuh yang lunglai.
*
Sabit merasa nyaman dengan rumah barunya. Kedua orangtuanya berangkat kerja pagi-pagi buta dan baru pulang setelah pukul sembilan malam. Ia jarang bertemu mereka, tapi ia sudah terbiasa begitu—ia lebih suka begitu. Ia punya adik perempuan yang masih duduk di kelas 4 SD, tapi ia sering lupa ia punya adik. Menjadi anak pertama rupanya tidak berarti bahwa seseorang berbakat menjadi kakak; Sabit besar sebagai anak terakhir dari dua bersaudara—ia dan Mbak Dian—dan selamanya ia akan merasa sebagai anak bungsu. Pernah beberapa kali ibu memarahinya karena tidak memberi teladan yang baik pada Laras, adiknya, tapi ia membalas—ia sudah mahir membalas omelan ibunya—dengan nada lebih tinggi:
“Ibu juga tidak memberi teladan yang baik!”
Ketika ditanya apa maksudnya, Sabit hanya diam lalu bersungut ke kamar, memutar musik keras-keras lewat headphone. Kalau sudah begitu, ibu akan sering bersembunyi di kamar, menangis sesunyi mungkin. Sabit tahu ibu menangis, tapi ia tidak peduli. “Biar dapat pelajaran,” katanya.
Tapi Sabit bukan anak durhaka sebagaimana digambarkan dalam layar kaca. Ia mematuhi perintah ibunya dan berkelakuan baik di rumah; ia mencuci piringnya sendiri, menjaga kamarnya agar tetap rapi, memesan galon air minum dan gas apabila persediaan sudah habis, atau mengajari orangtuanya mengirim e-mail—ibu selalu meminta diajari setiap kali ingin mengirim e-mail; suatu hal yang membuatnya menarik kesimpulan bahwa hubungan orang tua dan komputer adalah, mengutip status friendster: “it’s complicated”.
Ayah jauh lebih santai, lebih terbuka—pembawaan yang, menurutnya, merupakan bakat dari semua ayah. Sabit senang nantinya ia akan menjadi ayah, bukan ibu. Ia tidak bisa membayangkan betapa repotnya setiap hari mencari alasan untuk mengomel atau menghabiskan waktu di depan TV apabila ia jadi ibu rumah tangga; ditambah memikirkan belanja dan menu masakan, mencuci baju, merawat rumah, mengkhawatirkan anak yang pulang terlambat—belum lagi kalau curi-curi dengar suaminya bicara dengan janda bahenol di rumah sebelah. Ia merasa bangga ketika orang tuanya dipanggil oleh guru konseling karena Sabit ketahuan membawa rokok di dalam tas. Sementara ibu marah besar, ayah hanya tertawa sambil menghisap kreteknya dalam-dalam:
“Namanya juga anak, ya nggak jauh dari orang tuanya. Kalo’ ayahnya ngerokok, masa’ mau marah kalau anaknya ngerokok. ‘Kan nggak adil.”
/6/
Ketika ujung tahun ketiganya di pendidikan menengah atas hampir tiba, Sabit merasa hatinya bagaikan dilindas sesuatu yang paling membuat nyeri—entah apa itu, Sabit tidak pandai bermetafora. Yang ia tahu, sakitnya serupa dengan kali pertama ia patah hati dengan tersangka bernama Asri, teman sekelasnya. Ia sudah jatuh hati, bangun lagi, jatuh lagi—berulang-ulang kali seperti Sisiphus—pada gadis itu sejak pertama mata mereka bertaut. Setengah jalan pertama, perjuangannya mulus; ia bisa mencuri waktu berduaan dengan gadis itu di kantin, perpustakaan, kelas, bahkan ia berhasil merayu Asri untuk bermalam minggu bersama. Entah apa gerangan terjadi, suatu hari, Sabit datang ke sekolah dengan wajah murung dan badan lunglai; nyalang hidupnya habis dihisap Dementor—ya, Sabit baru selesai membaca Harry Potter: The Deathly Hollow malam harinya. Sejak hari itu ia hampir tidak pernah terlihat berbincang dengan Asri. Bahkan mereka tidak lagi berteman di friendster. Sabit pun sering tertangkap basah mengarang puisi serta mendengarkan lagu My Chemical Romance.Banyak rumor beterbangan; ada yang bilang Sabit ditolak karena mereka beda agama, karena orangtua Asri tidak suka, karena Asri sedang dekat dengan perjaka tampan dari sekolah khusus laki-laki, ada pula yang bilang karena bahwa Asri sebenarnya seorang lesbi—terbukti dengan kedekatannya yang lewat beberapa meter melampaui garis “akrab” dengan Roslin. Sulit sekali menembus kabut gosip dan memahami apa yang sebenarnya terjadi. Sabit tidak pernah membicarakannya dengan siapa pun. Tidak dengan bayangannya sendiri. Bahkan saya, sebagai orang yang mengarang dan menggariskan nasib Sabit, tidak tahu sama sekali mengenai sebab musabab kegagalan asmara yang membara itu.
Tapi cukup dengan Asri. Patah hati Sabit kali ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan cinta monyet.
Suatu malam, tiga hari sebelum pengisian formulir SPMB (bagi yang tidak tahu, SPMB: Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), ibu datang ke kamar Sabit dengan membopong Raisa, adik Sabit yang baru lahir empat bulan lalu. Ibu bilang:
“Bit. Kamu masih mau sekolah Kedokteran?”
Sabit, yang baru sadar ibunya masuk karena sedang mendengarkan musik, melepas headphone dan bertanya, “Kenapa, bu?”
Ibu mengulangi pertanyaannya.
“Ya jadilah. Aku udah belajar banget ini.”
Ibu mengangguk. Dengan rikuh ia duduk di bibir kasur.
“Ibu sudah tanya ke temen-temen di departemen pendidikan,” perempuan itu membenahi baju Raisa yang sudah rapi. “Katanya uang pangkal Kedokteran UI 25 juta.”
“Iya, aku udah tahu, kok,” Sabit memicingkan mata. “Ibu nggak bisa bayar ya? Bisa dicicil kok, bu.”
“Nggak,” sahut ibu cepat. “Ayah-ibu bisa bayar.”
Hening sesaat. Ibu kini menimang-nimang Raisa yang memang sudah tidur.
“Terus?”
“Ayah-ibu bisa bayar. Enam bulan lalu. Sekarang, ibu nggak yakin. Kamu tahu sendiri kemarin ibu operasi sesar dan harus rawat inap seminggu di rumah sakit. Ibu juga mesti mikir buat Raisa, Laras juga mau masuk SMA, ditambah lagi cicilan rumah dan mobil. Ini udah habis-habisan, Bit. Ayah-ibu nggak kuat kalau kamu masuk Kedokteran tahun ini. Kalau mau, kamu tunggu tahun depan, atau kamu ambil jurusan sosial, yang lebih murah. Atau kamu minat Biologi? ‘Kan deket tuh, Kedokteran sama Biologi. MIPA cuma lima juta. Ibu kuat deh kalau segitu. Tapi kalau Kedokteran, ya, itu tadi. Tunggu tahun depan.”
Sabit ingin menunjukkan pada ibu betapa berbedanya Kedokteran dari Biologi, tapi ia malah terdiam, menatap entah. Ibu menghela napas panjang, seolah-olah ia baru saja melepas beban yang menggerus punggungnya.
“Ya sudah,” kata Sabit akhirnya. “Aku pikir dulu.”
Ibu keluar kamar. Sabit tidak berpikir. Ia langsung tertidur.
*
Keesokan harinya, Sabit menerima usulan ibunya untuk kuliah tahun depan, ketika keadaan ekonomi rumahnya jadi lebih stabil, dengan satu catatan: ia akan tetap mengikuti SPMB tahun ini dan tetap memilih Kedokteran sebagai pilihan pertama. Ia hanya ingin mengikuti ujiannya saja, untuk mengetahui apakah ia bisa ‘tembus’ SPMB. Orang tuanya menyetujui. Ini menyisakan satu pertanyaan: apa yang akan dilakukan Sabit selama satu tahun ke depan? Sabit bilang, ia mau bekerja—apa saja—tapi ia mau, begitu libur sekolah dimulai, pulang ke Sidoarjo. Ia rindu Nenek, katanya. Lagi, orangtuanya menyanggupi.
Seperti yang Sabit duga, ia lolos ujian masuk Kedokteran UI.
/7/
Pada bulan hujan, Sabit pulang ke Sidoarjo. Ia tahu ia hanya perlu menunggu satu tahun, setelah itu ia bisa maju satu langkah lebih dekat dengan cita-citanya, tapi ia tetap kecewa. Ia sudah punya semua: dia punya otak, dia punya wawasan, dan ia punya kemauan. Ia hanya kurang uang. Bagaimana kalau ternyata, tahun depan, biaya kuliah naik dan orang tuanya tidak sanggup sama sekali untuk menanggungnya? Sabit berusaha mengusir pikiran itu dari benaknya. Ia butuh berada di tempat yang nyaman, yang bisa melegakan hatinya, dan ia hanya punya satu tempat: pangkuan Neneknya.Tapi, setibanya di Jatirejo, desanya, hati Sabit tidak juga lega; malah sebaliknya, hatinya tersentak hebat. Ada penyakit berkeliaran di kampungnya. Ada penyakit melayang-layang di atap rumah-rumah yang goyah, melengang di sepanjang jalan Renokenongo dan Kedungbendo, menggenangi sungai Porong; memaksa masuk ke Surabaya, Malang, Pasuruan, dan Banyuwangi lewat jalan-jalan tol. Ada penyakit hitam kental, mengucur deras, menyumbat kerongkongan saudara-saudaranya yang kering kerontang.
Sabit tercengang ketika kereta yang ditumpanginya dari Surabaya tiba di stasiun Porong. Penyakit itu menggapai-gapai dari luar jendela, memeluk rel dengan mesra, tak mau mati meski tergilas kereta ratusan kali. Begitu turun, ia meludah dan menginjak penyakit itu dengan penuh kebencian. Tapi benci tak membunuh. Pisau dan senapan yang bisa membunuh––meski ia tak yakin pisau dan senapan bisa membunuh penyakit itu. kebencian hanya akan jadi penyakit yang merongrong hatinya, dan ia tidak mau memerangi satu penyakit tambahan.
Pakde Broto sudah menunggu di depan stasiun. Sabit menjabat dan mencium tangan Pakdenya lalu membonceng motor. Mereka segera melengang ke rumah.
*
Kembali ke rumah tua itu, Sabit seperti kembali ke masa kecilnya. Nenek menyuguhi teh hangat dan pisang goreng seperti ia baru pulang sekolah. Bude Lastri sedang menjaga toko ketika Sabit datang, ia setengah berlari menyambutnya di ruang tamu.
“Walah… Ono arek nJakarta tho? Wis dadi bos kon? Klambine wapik tenan!”[iii]
Sabit tersenyum kecil.
Untuk beberapa saat, ia kembali merasakan kehangatan dan kenyamanan yang begitu ia rindukan. Untuk beberapa saat, ia merayakan lupa, meninggalkan masalah-masalah yang mengintip di balik pintu.
Hari cepat berlalu. Malam tiba bersama hujan deras. Nenek berbincang dengan Pakde Broto di ruang tengah. Suara mereka rendah, seperti berbisik. Sabit menyalakan televisi tapi semua berita menyiarkan keadaan kampungnya. Aneh, pikir Sabit. Ia terbiasa melihat musibah jatuh pada orang lain, daerah lain, dan ia selalu merasa iba pada mereka. Namun sekarang, ketika malapetaka itu menimpa daerahnya, keluarganya sendiri, ia jengah jika ada orang yang mengangkatnya jadi bahan pembicaraan. Semua tatapan penuh belas kasih nampak seperti duri yang memaksanya untuk menderita––untuk merasa kerdil dan rapuh. Ia berusaha keras melawan pikiran itu, tapi kantuk menusuknya dari belakang. Ia tertidur di depan televisi.
*
Sabit bangun pukul enam pagi. Ia membantu Nenek memberi makan ayam dan ikan lele di belakang rumah, lalu merapikan warung bersama Bude Lastri. Pakde Broto tidak bekerja karena ini hari Minggu. Ia menghampiri Sabit setelah ponakannya itu selesai membantu Bude Lastri, kemudian mengajaknya jalan-jalan.
“Kemana?” tanya Sabit.
“Sudah, ikut saja.”
Mereka mengendarai motor selama lima belas menit sampai Renokenongo. Sabit berdiri menghadap area yang dulunya adalah sawah. Sekarang ia hanya melihat lautan hitam dengan kabut pekat. Penyakit itu adalah lumpur, dan ia memiliki nama: Lapindo.
“Itu semburannya,” ujar Pakde Broto sambil menunjuk pancuran lumpur di pusat lautan hitam itu. “Tunggu beberapa bulan lagi, Jatirejo pasti juga kena banjir.”
“Pakde mau pindah?”
“Kalau bisa, ya tidak,” ujar lelaki itu sambil mengambil bungkus rokok. Ia menyulut sebatang lalu menawarkan rokok pada Sabit. Sabit tersipu.
“Ambil. Bapakmu bilang kamu sudah berani ngerokok di rumah. Masa’ di sini takut.”
Sabit menyeringai sambil memungut dan menyulut sebatang rokok.
“Katanya nanti mau dibangun tanggul, biar tidak luber sampai desa lain.”
“Kalau semburannya tidak ditutup ya percuma.”
“Iya. Tapi susah juga nutupnya. Lha wong penyebabnya belum ketahuan. Kata orang proyek, gara-gara gempa di Jogja, getarannya sampai sini, tapi ya entah. Pakdemu ini orang bodoh, cuma lulus madrasah. Tidak tahu yang begituan. Kamu nanti sekolah yang tinggi, jadi insinyur, biar bisa nutup semburan itu.”
Sabit membuka mulut, hendak meluruskan bahwa sekarang, gelar insinyur sudah tidak dipakai, tapi urung. Alih-alih ia berkata, “kalau nunggu aku jadi insinyur, Jatirejo sudah kelelep.”
Pakde tertawa.
“Tapi Pakde yakin,” sambung lelaki itu begitu tawanya reda. “Alasan itu cuma akal-akalan orang Lapindo saja, biar kelihatan alami. Kalau lumpur itu bencana alam, mereka tidak punya kewajiban buat ganti rugi. Mereka buat usaha pasti biar dapat untung, mana mau mereka nebus sawah lumpur dua kecamatan. Rugi.”
Sabit mengangguk. Matanya enggan berpaling; ia menatap kubangan lumpur yang telah mengeras itu, mematrinya dalam ingatan, bergumul dengan rasa takut yang mencengkramnya. Lumpur itu seperti darah seorang pasien tabrak lari, dan Sabit adalah dokter yang harus segera menghentikan pendarahan itu sebelum nyawa pasiennya melayang. Pada saat-saat seperti itu, ia tidak punya waktu untuk merasa takut, sedih, belas asih atau air mata. Di meja operasi, yang ia butuhkan adalah ketelitian, presisi, dan kecermatan berpikir.
Ketika itu juga Sabit mengetahui apa yang akan ia lakukan satu tahun ke depan.
*
Malam itu, orang tua Sabit kembali didera pedih. Anak pertama mereka menelpon dan memberitahukan bahwa ia ingin tinggal di Jatirejo selama satu tahun. Retno, ibu Sabit, tak mampu membendung tangisnya; ia bahkan membujuk Nenek sekeluarga untuk pindah ke Jakarta. Tapi Nenek menolak karena ia tahu hal itu akan sangat memberatkan keluarga Retno. Lagipula, untuk saat ini, Jatirejo masih aman. Said, ayah Sabit, tidak banyak bicara. Ia hanya menanyakan apakah Sabit masih ingin mengikuti SPMB tahun depan. Sabit mengiyakan, ia juga meminta ayahnya untuk mengirim buku-buku pelajaran supaya ia bisa belajar. Said menyanggupi.
Selesai menelpon, Sabit tidur. Ia lupa bermimpi.
/8/
Satu tahun berlalu dengan cepat.Dua kali seminggu Sabit mengajar baca tulis dan Bahasa Inggris untuk anak-anak di kamp pengungsian, selebihnya ia membantu membangun tempat tinggal sementara untuk para pengungsi, menyalurkan bantuan pangan dari luar, atau membuat sumur untuk sumber air bersih. Dari perkenalannya dengan beberapa aktivis, Sabit belajar jadi pendemo amatir dan mengorganisir massa. Di sela kesibukannya sebagai sukarelawan berbudi pekerti itu, Sabit masih sempat belajar untuk mengikuti SMPTN (Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Nasional. Pada dasarnya sama seperti SPMB, hanya ganti nama saja) dan membantu pekerjaan rumah.
Pada paruh tahun, Sabit mengurungkan niatnya untuk masuk Fakultas Kedokteran. Kawan-kawannya yang aktivis, dalam obrolan-obrolan ngelantur di malam hari yang ditemani dengan anggur merah atau wiski murah, berhasil meyakinkan Sabit bahwa penyakit dunia sekarang ini adalah kapitalisme yang menindas kaum pekerja dan sebagainya dan sebagainya, dan untuk mengobatinya, tidak cukup mengandalkan pengetahuan medis saja, melainkan terutama dengan perlawanan revolusioner yang terorganisir dan sebagainya dan sebagainya (selanjutnya disingkat menjadi dsb. dsb.). Sabit hanya memahami separuh dari apa yang dikatakan kawan-kawannya itu, dan separuh yang ia pahami itu pun masih buram. Ia hendak menyangkal bahwa, apabila seseorang dalam perlawanan revolusioner yang terorganisir dsb. dsb. itu ada yang sakit, ia harus tetap disembuhkan oleh seorang dokter; revolusi Bolshevik (satu lagi istilah yang tidak sempat dikonsultasikan Sabit pada Google), tidak mungkin menyembuhkan seorang penderita cacar apabila revolusi itu tidak melibatkan seorang dokter pun. Dengan demikian, menjadi dokter bukanlah sesuatu yang tidak relevan dalam perjuangan revolusioner dimana—dengan tanpa sengaja—Sabit terjerumus di dalamnya. Tapi ia tidak mengutarakan pendapat itu. Alih-alih ia mengikuti saran teman-temannya untuk belajar ilmu politik sebagai senjata ampuh untuk menggempur kapitalisme yang telah menyengsarakan rakyat dsb. dsb., sembari mengingatkan untuk tidak tergoda masuk dalam arena politik elit kotor seperti yang dilakukan politisi sekarang. Sabit mengangguk dengan bersemangat, seolah-olah itu adalah nasehat paling berharga yang pernah ia dapat seumur hidupnya, meskipun ia tidak tahu, deterjen apa yang dipakai oleh kawan-kawannya itu untuk membilas politik kotor menjadi politik bersih.
Yang sebenarnya membuat Sabit menyetujui usul itu adalah karena ia kagum dengan sorot mata optimis kawan-kawannya, serupa nyala api yang tetap berkobar di tengah badai gulita (benar, pembaca yang budiman, Sabit sudah mulai mahir bermain metafora), seolah-olah tak ada kegelapan yang tidak bisa ditembus oleh cahaya itu. Dalam pembicaraan yang lebih privat, Sabit mengutarakan pada saya bahwa alasan terdalam dari perubahan hatinya itu adalah karena Sandra, aktivis jelita yang berhasil membuat hati Sabit menari cha-cha di tengah hutan yang terbakar api asmara. Gadis itu adalah mahasiswi semester dua ilmu politik yang sedang menghabiskan masa liburan semester dengan ber-aktivis-ria. Dengan mengambil jurusan ilmu politik, Sabit berharap, ia bisa mengajak hati Sandra ikut serta turun ke lantai dansa dan menari salsa bersamanya. Suatu harapan yang, nantinya, kandas begitu Sabit tahu bahwa Sandra berpacaran dengan seorang gitaris band metal kekar berambut gondrong dengan tato “I love mama” di lengan kanannya.
Tapi itu cerita yang lain lagi.
*
Sabit kembali ke Jakarta dengan berat hati. Ketika itu, lumpur sudah mulai menyerbu Jatirejo dan Nenek sekeluarga tidak punya pilihan lain kecuali mengungsi. Pakde Broto memboyong Nenek, Bude Lastri dan Mbak Dian ke Krian, tempat orang tua Pakde Broto. Ia sudi meninggalkan pekerjaannya sebagai aparat desa di Jatirejo karena sekarang sudah tidak ada lagi desa untuk ia aparati. Selepas mengawal kepindahan warga ke tempat pengungsian, Pakde sekeluarga angkat kaki dari desa yang telah ia huni bertahun-tahun itu. Ia berencana untuk membuka bengkel di Krian sedang Bude Lastri melanjutkan usaha dagangnya.
Hasil belajar Sabit selama enam bulan terakhir tidak sia-sia. Meski ia baru berkenalan dengan studi-studi sosial, ia berhasil mengamankan kursi di jurusan yang ia inginkan: Ilmu Politik. Mulanya ibu tidak percaya anaknya itu mau begitu saja menukar mimpinya sejak bocah itu hanya dalam satu tahun. Sabit dengan berapi-api melakukan orasi yang telah ia latih selama berbulan-bulan di kamar mandi pada kedua orang tuanya; mengenai betapa berat penderitaan negerinya yang dikungkung jerat kapitalisme dsb. dsb. Orangtuanya tidak memahami barang sejumput dari apa yang dikatakan Sabit, tapi mereka meluluskan proposal baru itu.
“Yasudah,” kata ayahnya dengan bijak. “Kalau niat kamu sudah bulat dan kamu tahu apa yang kamu lakukan, ayah-ibu pasti mendukung seratus prosen. Buat apa sih ayah kerja kalau bukan buat anak-anaknya.”
Dalam hati, Said bersyukur karena ongkos kuliah jurusan sosial jauh lebih murah ketimbang kedokteran.
/9/
Demikianlah, sidang pembaca yang baik, separuh dari kisah hidup pemuda bernama Sabit. Saya masih bisa menyeracau lebih banyak lagi, tapi kelihatannya tulisan ini pun sudah terlalu panjang untuk kategori cerpen Indonesia yang—seturut harian Kompas dan Tempo—tidak boleh melebihi 10.000 karakter; sementara cerpen ini sudah hampir mencapai 30.000 karakter. Anda bisa bayangkan bila cerpen ini masuk koran nasional, tentu judulnya menjadi: “Sepersembilan dari Kisah Hidup Pemuda Bernama Sabit.” Mungkin Anda berpikir: bagaimana nasib Chekov atau Asimov, yang suka berpanjang-panjang menulis cerpen, kalau mereka lahir di Indonesia? Sederhana saja: mereka akan gagal menjadi seorang Chekov atau Asimov.Cukup dengan curhatnya.
Akhirul kalam, Sabit menjalani hari-hari barunya sebagai mahasiswa dengan penuh semangat. Di depannya ada nona Sandra dengan senyum comelnya yang terus menantang Sabit berdiskusi mengenai isu-isu ekonomi-politik kontemporer—meskipun kadang senyum comel itu sepaket dengan lelaki macho yang membuat hati sabit menggeliat terbakar cemburu—di belakangnya, ia terus dihantui ingatan tentang kampungnya. Ia selalu lupa untuk melupakan ingatan itu. Sementara beberapa kawannya gencar memekikkan jargon yang dipetik dari Milan Kundera—Sabit belum pernah membaca satu buku pun dari pengarang ini—untuk “menolak lupa”, masalah Sabit lain; ia tidak akan pernah lupa, yang lebih penting baginya adalah, apa yang akan ia lakukan dengan ingatannya itu. Apa yang harus dilakukan?
Butuh waktu beberapa lama sampai Sabit bisa menemukan jawaban dari pertanyaan ini. Sayangnya, pertanyaan itu baru terjawab pada separuh kehidupan Sabit yang tidak tercakup dalam cerpen ini. Maka, biarlah pertanyaan itu menggantung di langit-langit rumah kita.
Apa yang harus dilakukan?
Atau, dalam bahasa Jawa, mesti ngopo?
Dalam Inggris,
what has to be done?
----------------------------------
[i] “Sudah, taruh di tanah saja.”
[ii] Hemaphobia atau hematophobia, adalah rasa takut yang irrasional terhadap darah.
[iii] “Walah… Ada anak Jakarta toh? Sudah jadi bos kamu? Bajunya bagus sekali!”
Sumber: Indoprogress
Tidak ada komentar:
Posting Komentar