Dalam sejarah Islam dikenal apa yang dinamai dengan “Shulh Al-Hudaibiah”, yaitu Perjanjian Perdamaian yang disepakati pada tahun keenam Hijri. Perjanjian ini merupakan perjanjian antara Nabi Muhammad saw. dengan Suhail bin Amr yang ketika itu mewakili mayoritas penduduk Makkah yang masih musyrik.
Perjanjian ini dinilai oleh banyak sahabat Nabi sebagai sangat menguntungkan lawan, walaupun banyak pakar Al-Quran yang kemudian menilai bahwa Allah SWT menamainya fath mubin (kemenangan yang sangat jelas bagi kaum Muslim [lihat QS 48: 1]).
“Siapa yang mendatangi Muhammad (untuk memeluk agama Islam), maka ia harus dikembalikan, tetapi yang meninggalkannya menuju Makkah tidak dapat dikembalikan,” demikian salah satu butir perjanjian yang sulit dipahami oleh kebanyakan sahabat Nabi. Mengapa perjanjian ini disetujui oleh Nabi?
Namun demikian, reaksi yang ditimbulkannya belum seberapa dibandingkan dengan penghapusan tujuh kata yang dilakukan oleh Nabi ketika merumuskan naskah perjanjian tersebut.
“Tulislah wahai Ali, Bismillahirrahmanirrahim.”
Ali r.a. pun menulis, tetapi dengan serta merta Suhail keberatan: “Kami tidak mengenal Al-Rahman, hapuslah kata itu dan tulislah ‘dengan nama-Mu wahai Tuhan’.”
Nabi saw. menyetujui dan memerintahkan menghapus basmalah sambil melanjutkan: “Inilah perjanjian antara Muhammad Rasulullah dengan Suhail bin Amr.”
“Tidak, tidak! Kalau kami mengakuimu sebagai pesuruh Allah, niscaya kami tidak memerangimu. Hapus itu, dan tulislah Muhammad putra Abdullah’.”
Sekali lagi Rasulullah saw. menyetujui sambil berkata: “Demi Tuhan, aku adalah pesuruh Allah walau kalian mengingkarinya, hapuslah kata tersebut wahai Ali!”
Ali r.a. tampak ragu, sementara para sahabat yang lain menggerutu. Umar bin Khaththab berkata: “Mengapa kita harus menerima kehinaan bagi agama kita?”
“Tenanglah wahai Umar. Aku ini pesuruh Allah."
Nabi Muhammad saw. lalu mengambil naskah rancangan perjanjian tersebut dan menghapusnya dengan tangannya sendiri kata-kata “Muhammad Rasul Allah”.
Demikianlah tujuh kata, yaitu Bismi, Allah, Al-Rahmân, Al-Rahim, Muhammad, Rasul, dan Allah, dihapus oleh Nabi saw.
Peristiwa di atas menunjukkan betapa luwes dan sabarnya sikap beliau dalam menghadapi kaum musyrik demi perdamaian. Beliau sadar bahwa mereka sebenarnnya tidak mengerti, atau tidak mau mengerti. Tetapi, setelah diskusi ilmiah mereka samakan dengan pokrol, keluwesan mereka nilai kelemahan, perjanjian yang telah disetujui mereka langgar, ketika itulah tidak ada jalan lain kecuali ketegasan, walaupun itu masih harus selalu diliputi oleh rahmat dan kasih sayang.
Ketika memasuki kota Makkah sebagai sanksi atas pelanggaran Perjanjian tersebut, beliau mengingatkan untuk tidak menumpahkan darah. Dikecamnya sahabat-sahabatnya yang bermaksud menjadikan hari tersebut sebagai hari pembalasan. “Tidak!” kata beliau, “ini adalah hari kasih sayang.” Adapun semboyan yang disetujuinya adalah: “Akhun karim wa ibnu akhu karim” (saudara sebangsa yang mulia dan putra saudara sebangsa yang mulia). Sungguh agung manusia ini. Alangkah wajar kita meneladaninya.[]
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 396-398
Tidak ada komentar:
Posting Komentar