Apa yang kami takutkan dilakukan Prabowo, dan jadi alasan kami memilih Jokowi, ternyata dilakukan Presiden Joko Widodo saat ini.
Pagi ini sedih membaca berita ada penangkapan lain dini hari ini melanjutkan 10 orang sebelumnya. Hatta Taliwang, seorang orang tua lainnya, dijadikan tersangka dan ditahan.
Hanya di era berhawa fasis, kata radikal yang sebenarnya bagus telah mengalami pembusukan. Sementara kata-kata disiplin dan tertib menjadi segar dan mulia
Riwayat tindakan fasistik dan standar ganda penegakan hukum terlihat begitu merisaukan. Orang yang berencana mengajak masyarakat mendatangi parlemen, dianggap makar dan ditangkapi, sementara mereka yang membubarkan ibadah di Bandung diajak berunding oleh polisi dan pemerintah daerah.
Kita memang perlu awas dan jangan pernah meremehkan tindakan fasis kecil-kecilan seperti pembubaran acara-acara diskusi, bedah buku atau nobar-nobar film. Sebab, bila berhasil, mereka akan mencoba membubarkan yang lebih besar: ibadah, lalu negara.
Yang pernah mengalami gelapnya Orde Baru semestinya takut hal ini: Presidennya senyam-senyum ramah, polisinya nangkepin orang dini hari dengan dalih yang dituturkan media sebagai tindakan mengamankan.
Diamankan itu terasa mirip Orde Baru banget ya. Kalau sebenarnya belum jelas apa kejahatannya, apalagi makar atau bukan, kenapa diciduk duluan?
Mau diamankan agar tidak memprovokasi? Ya, sebaiknya jangan segera dibilang dugaan makar. Itu tuduhan serius dan perlu pembuktian. Mending bilang saja mau dimintai keterangan dan dipanggil menjadi saksi. Bukan diciduk dan digeledah serentak.
Gaya Orde Baru selalu dekat dari batang otak kita, apalagi godaannya datang ketika musim politik tiba. Pada saat kita semua mudah baper dengan jagoan kita dan gampang menghalalkan penangkapan musuh-musuh politik yang mungkin bikin muak, tapi bukan berarti mereka boleh ditangkap sesukanya.
Pasal makar atau permufakatan jahat itu dalam praktiknya sama karetnya dengan penistaan, penghinaan, atau pencemaran. Pemakaiannya hanya soal giliran berkuasa.
Para pembela Jokowi yang senang ada penangkapan menggunakan dalih “masih mending sekarang ditangkap, nggak dilenyapkan seperti zaman Orde Baru”, sikap gampangan seperti itu, selain abai terhadap substansi, juga terbilang ahistoris.
Di belakang panggung, orang ditangkapi dan diberi dalil di era dulu dan sekarang sebagai bagian dari mengusahakan “tertib dan damai”. Bedanya, Soeharto menggunakan kalimat demi stabilitas nasional.
Penangkapan orang seperti Sri Bintang Pamungkas dan Ratna Sarumpaet saat ini dan zaman Orde Baru dulu itu sama saja. Tampak berbeda hanya karena kini giliran presiden idola kita yang berganti senyum-senyum sedang menjalankan kuasa.
Kita melihat watak kekuasaan lama hidup kembali. Menangkap orang sembarangan, mobilisasi birokrasi dan partai politik dalam pawai-pawai, penggusuran paksa dan kekerasan, pemaksaan proyek-proyek pembangunan.
Meski begitu, rezim seperti ini masih didukung sebagian orang karena ada persepsi perlunya pembangunanisme/infrastrukturisme dan ancaman seperti intoleransi. Seperti Soeharto dan “komunisme” di era gelap lalu.
Apakah Presiden Jokowi tak tahu-menahu penangkapan berdalih makar? Sudah jelas Jokowi paham dan tahu persis penangkapan.
Dari Presiden ke Kapolri itu tak ada pejabat lain. 11 orang ditangkap, yang terbaru orang tua bernama Hatta Taliwang dan sebelumnya salah satu yang ditangkap anak/adik bekas presiden, hal itu dilakukan tanpa diketahui RI-1? Come on.
Sulit dibantah. Banyak yang gagal membedakan orasi Sri-Bintang yang rasis dan pengenaan pasal makar terhadapnya. Sebab, presiden idola kita semua telah membuat kita jadi mudah permisif.
Apa persamaan rezim Soeharto dengan Jokowi? Memang tidak sama. Kalau dulu Soeharto banyak menangkap anak-anak muda, rezim sekarang menangkap orang-orang tua.
Secara pribadi mungkin kita menganggap sebagian yang ditangkap provokatif, tapi hal itu jelas bukan makar. Itu aspirasi politik yang sah, apalagi jika rutenya ingin menuju ke parlemen menuntut Sidang Istimewa.
Sebelum kita semua baper dengan Jokowi sehingga kehilangan daya kritis, kita perlu tunjukkan kembali bagaimana rute Orde Baru bisa berkuasa selama 32 tahun tanpa jeda:
Pertama, ia singkirkan lawan-lawanmu agar kamu senang dan memberi dukungan. Kedua, setelah lawanmu tumpas, ia pun makin kuat. Ketiga, ia mulai menjalankan agendanya sendiri yang bukan agendamu. Karena sudah kuat, kamu tak dibutuhkan. Keempat, kamu mulai keberatan, dan giliran kamu yang disingkirkan.
Kekuasaan mudah tergelincir fasis jika terutama secara sukarela didukung rakyatnya untuk menangkap semua yang keras provokatif berbeda pandangan politik dan tengil serta memuakkan dalam menyampaikan aspirasinya. Tapi, ingat. sikap keras, provokatif, tengil dan memuakkan bukan (selalu) makar dan halal ditangkap sesukanya.
=========================
Sumber: Geotimes
=========================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar