Sabuga dan UKDW adalah dua biji anyar di antara berkarung-karung persekusi terhadap kelompok Kristiani di negeri ini. Menurut Victor Silaen, saat Soekarno berkuasa ada 2 gereja ditutup paksa.
Pada zaman Soeharto ada 456, era B.J. Habibie ada 156, era Abdurrahman Wahid ada 232, era Megawati Soekarnoputri ada 92, sedangkan pada era Susilo Bambang Yudhoyono sampai tahun 2010 ada sekitar 2.442 gereja yang mengalami gangguan berupa perusakan dan penutupan paksa (Tempo, 12/5/2013). Dan diperkirakan ada lebih dari 100-an gereja yang mengalami hal sama sepanjang 2011-2015.
Puluhan hasil riset dan pemantuan berbasis kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) bisa dengan mudah diakses untuk mengonfirmasi persekusi selama ini.
Potret kebangkitan kelompok intoleran Islam (terhadap sesuatu yang berbau Kristen, salah satunya) semakin menunjukkan wajah sangarnya dalam hasil survei Wahid Foundation 2016. Hampir 60% Muslim dewasa Indonesia mengaku punya kelompok yang dibenci dan emoh bertetangga dengan mereka, apalagi menjadikan mereka sebagai aparatus negara. Tiga identitas kelompok yang dibenci itu adalah komunis, Tionghoa, dan Kristen!
Tidak peduli apa pun argumentasi soal Indonesia, bhinneka tunggal ika, NKRI atau toleransi, Anda non-Muslim wajib tahu, kebencian terhadap Kristen berusaha terus di-install dalam ruang publik—sama seperti cara pandangnya terhadap Tionghoa, dan sangat sulit untuk dilucuti.
Pembubaran Sabuga dan baliho di UKDW hanya bisa dilakukan individu yang memiliki kadar kebencian maksimal terhadap Kristen. Kenapa bisa ada kebencian sedemikan ganas dan meranggas? Saya bisa katakan ada dua faktor: justifikasi tekstual dan sejarah pergumulan Islam-Kristen di Indonesia.
Sejak dulu hampir semua kelompok Islam sangat merindukan negeri ini bisa ditata secara Islami—dalam aspek politik formal. Itu yang menyebabkan terdapat nestapa menganga ketika mereka merasa dipecundangi sehingga “kalah” dalam duel perumusan konstitusi. Tujuh kata (Piagam Jakarta) bagi mereka adalah tembok ratapan yang memupuk semangat kontestasi dengan kelompok Kristen di kemudian hari.
Kelompok Islam-Kristen yang sempat bergandeng mesra menopang naiknya Orde Baru, dengan cara menghabisi PKI dan merontokkan Soekarno, seketika menegang kembali. Hal ini dikarenakan umat Islam merasa Kristen kembali “berulah”. Kali ini lebih “kurang ajar” dan dianggap sangat menyakitkan.
Konversi Agama hingga Meulaboh
Bagi hampir semua umat Islam, tak ada yang lebih menyesakkan hati ketimbang melihat atau mendengar seseorang pindah menjadi Kristen. Lebih-lebih jika ia dulunya seorang Muslim. Mari kita bayangkan, betapa ngenes-nya banyak Muslim jika konversi agama itu tidak dilakukan oleh 3-4 orang saja, melainkan ratusan ribu! Dan ini sungguh terjadi.Tidak ada yang punya data persisnya, namun jumlah umat Katholik mengalami kenaikan 7,45% antara 1966-1967. Di Jawa Tengah, jumlah yang menunggu dibaptis Katolik terkadang melebihi umat Katolik sendiri.
Denominasi Protestan juga menerima limpahan konversi yang jumlahnya diperkirakan tidak sedikit. TB Simatupang (1969) mencatat ada lonjakan 825.000 pengikut Kristen baru di 36 gereja yang bernaung dalam Dewan Gereja Indonesia, dari 1964-1967. Lonjakan terjadi di etnis Jawa (Timur dan Tengah), Karo Batak, dan Timor.
Di Jawa, menurur Ukur & Cooley (1979), sepanjang tahun 1966-1970 angka konversi yang sedemikian tinggi terdistribusi sebagai berikut: Gereja Kristen Indonesia Jawa Timur (17%), Gereja Kristen Jawa Timur Utara (15.5%), Gereja Injili Tanah Jawa (12.2%), Gereja-gereja Kristen Jawa (9%), dan Gereja Kristen Jawi Wetan (9%). Bahkan, Profesor Gerrit Singgih menceritakan jika biasanya pembaptisan cukup diperciki air, saat itu mereka disemprot menggunakan selang air—akibat begitu meluapnya warga yang ingin masuk Kristen (Mujiburrahman 2006).
Konversi berjamaah terjadi sebagai dampak dari dua hal: koersi Orde Baru agar rakyat menganut “agama resmi” dan sebagai dampak dari Tragedi 1965. Kita tahu bahwa political genocide yang memahat kesadisan kelompok Islam karena provokasi tentara—senyatanya telah menorehkan luka dan antipati tersendiri bagi banyak orang, termasuk kelompok abangan-Jawa (Heffner 1993, 2011; Singgih 2008; Narciso 2008).
Konversi ini, bagi saya, cukup masuk aka mengingat bagaimana mungkin mereka yang selamat dari amuk 65 akan memilih agama yang dianut para pembantai keluarga mereka?
Di sisi lain, saat itu tidak sedikit pemimpin Kristen menemukan optimisme baru; bahwa salib merupakan “jalan spiritualitas baru” bagi warga yang terundung duka gara-gara Tragedi 1965 (Mujiburrahman 2006).
Hal ini pula yang mendorong berbondongnya misionaris—kebanyakan dari Amerika—datang ke Indonesia. Catatan DGI, 16 dari 35 organisasi zending mulai bekerja di Indonesia tidak lama setelah Tragedi 65. Lukman Harun, aktivis Muhammadiyah yang juga anggota parlemen, secara resmi berpidato di parlemen menuding bantuan asing ke gereja Indonesia dalam rangka pemurtadan.
Peristiwa penolakan gereja pertama kali di zaman Orba dilakukan warga Meulaboh, Aceh, terhadap Gereja Methodist di tahun 1967. Rumah ibadah yang sebenarnya telah ada sejak lama ini akhirnya ditutup karena dianggap mencederai kesucian tanah Serambi Mekkah. (Boland 2013; Sinar Harapan 22-27 Juni 1967).
Sebenarnya ketika Soekarno berkuasa tahun 1957, masyarakat Panti di Minang Sumatera Barat pernah keberatan atas kenginan beberapa warga Tapanuli di sana yang hendak mendirikan gereja HKBP. Kasus ini tidak terekspose luas karena tertutupi pemberontakan PRRI (Mujiburrohman 2006).
Kasus Meulaboh dan konversi agama besar-besaran telah mengeraskan keyakinan kalangan Islam bahwa bahaya Kristenisasi itu nyata dan membara. Keyakinan iti dirawat baik dan dijadikan kayu bakar menggerakkan lokomotif komunal untuk mempertahankan “kehormatan” Islam.
Jet Lee, Eric, dan Khasebul
Yang menarik, dalam menghadapi kekristenan, kelompok Islam senantiasa meminjam jurus Jet Lee—seperti dalam film Fist of Fury, yakni “pertahanan terbaik adalah menyerang”.Serangan pertama terhadap Kristen terjadi di Makassar tahun 1967. Saat itu massa Muslim marah dan menghancurkan bangunan Kristen, dipicu statemen HK Mangunbahar, guru SMA, yang dianggap menghina Nabi Muhammad. Borland (2013) mencatat kemarahan massa lebih dikarenakan munculnya persepsi menyangkut agresivitas kekristenan di Makassar. Salah satunya adalah rencana menjadikan Makassar sebagai tempat Sidang Raya DGI pada 28 Oktober-4 November 1967.
Majalah Peraba cukup detail menggambarkan sejauhmana peranan PII, HMI, dan Jusuf Kalla, dalam huru-hara tersebut (Waver 1974, Mujiburrahman 2006, Kiblat Oktober 1967).
Ketegangan Islam-Kristen memaksa pemerintah membuat regulasi terkait relasi antaragama, yang mana salah satu isinya melarang penyiaran (dakwah) kepada orang yang telah beragama, dan perlunya membentuk forum kerukunan umat beragama.
Menyangkut hal ini, kontestasi Islam-Kristen semakin meradang di parlemen. Terjadi debat panjang antara AM. Tambunan (Protestan) dan IJ Kasimo (Katolik), berhadapan dengan Natsir, Rasjidi, Dachlan, Idham Chalid dari kelompok Islam. Kristen bersikukuh pada pendiriannya menyangkut penginjilan dan kemerdekaan beragama. Sedangkan Islam menudingnya sebagai upaya mengkristenkan Indonesia dalam 50 tahun.
Pendek kata, diksi “Kristenisasi” terus diproduksi dan dipublikasi sebagai simbol perlawanan terhadap gereja yang dianggap provokatif. Kata itu pula yang mendorong pria asal Surabaya, Hasyim Yahya, nekat menikam Eric Constable, seorang pastur asal Australia yang melayani di Gereja Anglikan Jakarta, 29 Juni 1974.
Polisi dan politisi Islam menganggap kejadian tersebut kriminal murni, perampokan. Namun tidak bagi kalangan Kristen. “It was said that the killing was a signal that similar incidents would happen more if the Assembly were held in Jakarta,” kata TB Simatupang (1991). Pembunuhan itu terjadi setelah pemerintah menyetujui Jakarta sebagai tempat dilangsungkannya World Council of Churches Assembly. Akibat pembunuhan tersebut, lokasi acara akhirnya dipindah ke Nairobi.
Lalu, apa sebenarnya motif Hasyim Yahya menikam Eric? Menurut Adian Husaini yang mengaku bertemu Hasyim di Mekkah, tempat pelariannya, ia marah dan gusar atas agresivitas kelompok Kristen terkait perumusan UU Perkawinan 1974 dan pertemuan WCC. Menurut Hasyim, setelah berkonsultasi dengan para ulama, Kristenisasi dianggap lebih merusak dan berbahaya ketimbang serangan fisik. Hasyim, lanjut Adian, mendasarkan kebolehan aksi tikamnya kepada QS. al-Baqarah 190-1 (Adian 2000; Mujiburrahman 2006; Aritonang & Steenbrink 2008).
Meragukan Jokowi
Perseteruan panjang Islam-Kristen saat Orde Baru pada gilirannya memunculkan organisasi seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Organisasi ini dibentuk untuk mengimbangi laju Kristenisasi, CSIS, Khalwat Sebulan milik Pater Beek, dan politik represif Orde Baru terhadap radikal Muslim (Bruinessen 2002; Mujiburrahman 2006; Cholil 2009).Sejarah panjang apeknya KDRT politik Islam-Kristen di Indonesia terbakukan dalam ingatan yang terawat dan terus menyembul-nyembul di setiap masa. Pembubaran KKR di Sabuga, Bandung, adalah noktah-lebam kesekian, dan akan terus meningkat seiring dengan bangkitnya pengerasan Islam di Indonesia pasca Aksi #212.
Sanggupkah Jokowi mematahkan pewarisan KDRT yang terus menempel di ketiak bangsa ini? Saya, sih ragu, meski Anda mungkin tidak. Wallahu a’lam.
=========================
Sumber: Geotimes
=========================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar