Dalam jeritan, asumsinya adalah terjadi kesalahan fatal pada kendaraan lain, sehingga perlu jalan terakhir berupa jeritan untuk menegurnya. Adapun jika klaksonnya telah dimodifikasi lebih menyalak, maka apa pun yang keluar darinya, kesalahan pasti justru kembali pada penekannya, bukan lagi objek klakson itu.
Persis seperti knalpot. Orang memaklumi bunyinya karena memang begitulah seharusnya agar motor beroperasi. Tapi, jika ia telah dimodifikasi lebih menyalak, maka tentu itu akan mengundang kemarahan orang-orang di sekitarnya. Saya termasuk yang sering tak mampu menahan amarah mendengar bisingnya knalpot modifikasi hingga terlontar spontan dan begitu saja doa buruk untuk pengendaranya.
Kebodohan pengendara motor berknalpot bising itu seolah menular ke saya, atau sebagian orang yang terpaksa ke mana-mana dengan headset di jalanan agar tak jadi korban kebisingan klakson dan knalpot. Akhirnya, jadilah lingkaran setan kebodohan di jalanan Jakarta seperti kerap kita saksikan setiap harinya.
Maka, dari klakson dan knalpot, kita sebenarnya bisa tahu karakteristik pemiliknya: sopan atau bodoh. Dalam laporan Kompas disebutkan bahwa di Jepang, Eropa, atau Amerika, jarang sekali orang membunyikan klakson lantaran tingginya rasa solidaritas dan disiplin berlalu lintas, sehingga praktis klakson hanya digunakan untuk menghalau hewan yang nyasar ke jalanan.
Saya masih merasakan “iklim” semacam itu di Jogjakarta beberapa tahun lalu saat saya berkunjung ke sana beberapa hari dan menikmati jalanannya dengan motor sewaan untuk memburu buku-buku kuno di sana.
Tapi, di Jakarta, dengan klakson, kita seolah saling menuding hewan orang-orang di jalanan. Tan… ton… tan… ton. Semua yang di depan kita diposisikan seolah hewan yang nyasar ke jalanan, dan karenanya terus klakson berbunyi menghalau mereka. Kita merasa jalanan seolah milik engkong kita. Kita perkosa jalanan ibu kota. Sehingga lengkaplah derita ibu kota: polusi udara, polusi suara pula!
Apalagi tentang ironi lampu merah. Saat lampu masih merah, klakson bersorakan menyuruh yang disiplin untuk melanggar garis batas lampu merah. Mungkin, pikirnya, “yang penting tak tabrakan, meski membahayakan.” Di sana, kita seolah menuduh bodoh aturan yang dibuat dengan prinsip kehati-hatian. Pikirnya, tak usah berhati-hati. Buatlah garis tepat di ujung depan, tanpa perlu space aman. Tak perlu pula lampu kuning. Di Jakarta, kuning berarti jalan, bukan siap-siap atau hati-hati.
Bahkan, di detik-detik akhir lampu yang masih merah, klakson sudah bersahutan memaksa kita untuk menerobos. Mereka yang di belakang mengajak atau bahkan memaksa yang di depan (yang mungkin saja disiplin dan pintar, juga sopan dan sadar diri) untuk berbodoh-bodoh ria seperti mereka. Persis seperti disindir Remy Sylado dalam salah satu puisinya berjudul “Di Jalan Raya Kota”:
Di Jakarta, seorang profesor dikata-katai goblok
Oleh seorang sopir angkot yang cuma tamat SD Inpres
Karena tiba-tiba motor profesor itu mogok di tengah jalan
Dan jalanan macet berkilo-kilo
Klakson dipencet bertubi-tubi.
Oleh seorang sopir angkot yang cuma tamat SD Inpres
Karena tiba-tiba motor profesor itu mogok di tengah jalan
Dan jalanan macet berkilo-kilo
Klakson dipencet bertubi-tubi.
Meminjam sindirian Goenawan Mohamad (GM) dalam salah satu Catatan Pinggir-nya (16 Oktober 1982), jika di Jogjakarta prinsip di jalanan adalah “alon-alon waton kelakon” (perlahan-lahan asal tercapai), maka di jalanan Jakarta, peribahasa itu berubah jadi “alon-alon waton klakson” (perlahan-lahan asal klakson). Artinya, sebagian kita mungkin tak sedang terburu-buru, tak sedang mengejar apa-apa, juga tak sedang ngebut.
“Mereka seperti bergegas, namun sebenarnya beringas,” tulis GM. Sehingga klakson bukan hanya gagal kita pahami, tapi kita alihfungsikan semau kuasa dan nafsu kita.
Di Indonesia, klakson memang sudah telanjur sering gagal dipahami. Jangankan secara filosofis, bahkan fungsional. Bagaimana tidak, wong kita nyetir tanpa SIM atau bikin SIM dengan nyogok tanpa ujian, kok. Bahkan, setelah gagal dipahami, ia dimaknai ulang dengan makna yang mengerikan hingga menggelikan.
Pertama, di sini, klakson bisa saja dibunyikan justru di gelap dan sepinya malam. Di dalam terowongan atau tempat khusus lainnya. Mengapa? Takhayul! Biasanya dihubungkan dengan angkernya tempat tersebut, dan klakson diyakini seperti semacam pengusir hantu.
Kedua, seperti yang populer saat ini: “Om Telolet Om”. Klakson dibunyikan lantaran permintaan segerombolan anak kecil atau remaja. Untuk apa? Hiburan!
Ketiga, yang ini biasa kita dapatkan dari segerembolan suporter bermotor sepulang nonton sepakbola. Mereka menjadikan klakson sebagai irama yang sayangnya tak indah, tapi bising dan sangat menganggu, seperti ironisnya nasib persepakbolaan negeri ini.
Ada ragam ironi di jalanan negeri ini, khususnya ibu kota. Ada emak-emak yang hidupkan lampu sein kanan namun beloknya ke kiri hingga yang marah-marah di jalanan Jatinegara, karena merasa dirinya lebih pintar dan berkuasa ketimbang polisi. Ada rombongan konvoi mobil jenazah yang entah kenapa harus buru-buru hingga seringkali membahayakan pengendara lain.
Ada orang yang menganggap kopiah bisa menggantikan helm atau hadir pengajian berarti bebas melanggar semua aturan, bahkan menyetop jalanan. Banyak yang kebut-kebutan, tapi negeri ini—jangankan naik podium—ikut balap motor GP saja tak pernah. Dan masih banyak lagi.
Yang pada intinya menegaskan bahwa rasionalisme, apalagi etika, telah lenyap dari jalanan kita. Sehingga, mungkin yang dibutuhkan kita sebenarnya adalah: “Om Mikir Om!”
=========================
Sumber: Geotimes
=========================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar